Contoh Meresensi Ushul Fiqih, Resensi buku Ushul Fiqih




MERESENSI USHUL FIQIH
NAHYI (LARANGAN)
By: Tina Nurhasanah

1   Pengertian Nahyi
Menurut ulama ushul, definisi nahyi adalah kebalikan dari amr, yakni lafazh yang menunjukkan tuntutan unuk meninggalkan sesuatu (tuntutan yang mesti dikerjakan) dari atasan kepada bawahan. Namun, para ulama ushul sepakat bahwa nahyi itu seperti juga amr dapat digunakan dalam berbagai arti.
2 Makna Shighat Nahyi
Para ulama sepakat bahwa hakikat dalalah nahyi  adalah untuk menuntut meninggalkan sesuatu, tidak bisa beralih makna, kecuali bila ada sesuatu qarinah (Abd. Aziz Al-Bukhari: 256). Namun, mereka berbeda pendapat tentang hakikat tuntutan untuk meninggalkan larangan tersebut, apakah hakikatnya untuk tahrim, karahah, atau untuk keduanya:
a.      Menurut jumhur, hakikatnya itu untuk tahrim, bukan karahah. Tidak bisa menunjukkan makna lain, kecuali dengan qarinah.
b.     Menurut pendapat kedua, nahyi yang tidak disertai qarinah menunjukkan karahah.
c.      Menurut pendapat ketiga, musytarak antara tahrim dan karahah baik isytirak lafazhi maupun isyitrak maknawi.
d.     Hakikat tuntutan nahyi itu tasawuf. (Al-Amidi, 1986, II:32)
Dari keempat pendapat di atas yang dipandang kuat adalah pendapat Jumhur. Hal itu disimpulkan dari keumumam shigat-shigat nahyi, juga didasarkan pada argumen-argumen di bawah ini:
a.      Akal yang sehat bisa menunjukkan bahwa larangan itu menunjukkan pada haram.
b.     Para ulama salaf memakai nahyi dalil untuk menunjukkan haram. Dan hal itu telah disepakati sejak zaman para sahabat, tabi’in, dan para pengikut mereka.
c.      Firman Allah Swt dalam surat Al-Hasyr:7
Artinya: “Dan apa-apa yang Rasul datangkan (perintahkan) kepada kamu semua taatilah, dan apa-apa yang dilarang kepada kamu semua jauhilah.” (Q.S. Al-Hasyr:7)
3   Nahyi Menuntut Untuk Meninggalkan Secara Langsung  
Sesungguhnya nahyi itu menuntut untuk meninggalkan apa yang dilarang sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Swt surat Al-An’am:151
Artinya: “Janganlah kamu semua membunuh seorang jiwa yang diharamkan Allah, kecuali dengan hak.” (Q.S. Al-An’am:151)
Dengan kata lain, janganlah kamu semua menyebabkan seseorang terbunuh. Kata “terbunuh” adalah bentuk nakirah dalam keadan nahyi. Hal itu sangat umum dan menunjukkan siapa saja yang terbunuh, kapan saja dan dilakukan terus menerus, kecuali jika ada dalil yang men-taksis keumumannya, seperti membunuh dengan hak.
Degan demikian, jelaslah bahwa larangan itu membutuhkan pelaksanaan secara langsung dan terus menerus, karena pelaksanaan secara terus-menerus dan langsung termasuk dilalah nahyi.
Hal itu merupakan ijma’ dari ulama, masa sahabat dan tabi’in.  Mereka menetapkan bahwa nahyi itu menuntut agar meninggalkan yang dilarang secara langsung dan terus menerus.
4.    Kaitan Nahyi Dengan Fasad Dan Buthlan
Ulama ushul  berbeda pendapat tentang tuntutan nahyi dalam kaitannya dengan fasad atau buthlan, atau keduanya secara sekaligus. Ada dua hal penting yang berkaitan dengan masalah nahyi, yaitu: hal ihwal nahyi, dan makna sah, fasad dan buthlan.
a.      Ihwal Nahyi
Para ulama ushul dalam menjelaskan hal ihwal nahyi menempuh berbagai jalan. Pada garis besarnya, dapat dikelompokkan pada empat macam:
1.     Nahyi itu berada secara mutlaq, yakni tanpa ada qarinah yang menunjukkan sesuatu yang dilarang. Bentuk ini ada dua macam. Pertama larangan yang bersifat perbuatan indrawi,  seperti: Puasa, shalat dan sebagainya. Kedua adalah tindakan syara’.
2.     Para ulama memberikan penjelasan lebih rinci bahwa yang dimaksud dengan perbuatan indrawi  ialah suatu perbuatan yang dapat diketahui secara indrawi, yang wujudnya tidak bergantung pada syara’. Sedangkan yang dimaksud dengan tindakan syara’ ialah segala perbuatan yang wujudnya bergantung pada syara’,  seperti puasa dan shalat tidak mungkin dikatakan sah sebagai ibadah, kecuali dengan penetapan dari syara’.demikian pula masalah jual beli tidak akan sah, kecuali bila sesuai dengan ketentuan syara’ (Abdul Aziz Al-Bukhari, 1307 H. I:257).
3.     Nahyi itu kembali kepada dzatiyah perbuatan, seperti larangan jual beli hashat (jual beli yang penentuan barangnya dengan jalan melempar batu  kerikil, pada masa sekarang bisa berbentuk koin.)
4.     Nahyi yang melekat pada sesuatu yang dilarang, bukan pada pokoknya, seperti jual beli riba dan larangan puasa pada hari raya.
5.     Nahyi kembali kepada sifat yang berkaitan dengan suatu perbuatan, tetapi perbuatan itu bisa terpisah dari perbuatan yang lainnya, seperti larangan shalat di tempat hasil rampasan dan larangan jual beli di waktu shalast Jum’at.
b.     Pengertian Sah, Batal dan Fasad
Menurut fuqaha, sah daldam ibadah artinya sesuatu perbuatan itu telah gugur karena telah dilakukan. Menurut ulama mutakallimin, sah berarti perbuatan yang telah dilakukan itu sesuai dengan perintah syara’ baik dalam keadaan wajib qhada, maupun tidak. Misalnya seseorang yang telah shalat menduga bahwa ia shalat dalam keadaan suci, padahal. Shalat tersebut menurut ulama mutakallimin tetap sah meskipun ia tetap wajib mengulanginya (mengqadanya). Akan tetapi, menurut fuqaha shalat tersebut tidak mengugurkan qada.
Arti sah dalm mu’amalah adalah keadaan suatu akad menjadi sebab adanya sesuatu yang dituntut syara’, seperti jual beli yang sah berakibat sahnya pemindahan hak milik dan pernikahan yang sah berakibat halalnya bergaul suami istri dan si istri berhak atas mahar.
Arti batal dal ibadah adalah tidak gugurnya suatu perbuatan yang diwajibkan. Sedangkan arti batal dalam mu’ammalah ialah suatu perbuatan yang dilakukan dengan menyalahi hukum dan keluar dari hal yang dapat mengakibatkan hukum, seperti  menikahi wanita yang diharamkan. Adapun arti fasad, menurut jumhur sama dengan batal.

DAFTAR PUSTAKA DAN KEKURANGAN KELEBIHAN

Prof. Dr. H. Rachman Syafe’i,M.A., 2015, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia.

Buku ini telah memberikan banyak pengetahuan kepada kami, dan juga telah memberikan  kepuasan dalam materi-materi yang terkandung didalamnya. Dalam penyusunan buku ini begitu banyak kelebihan-kelebihan yang ada dalam buku ini, dan mempunyai kekurangan-kekurangn tentunya, karena setiap lebih disitu pasti ada  kurang.

Dalam buku ini masih banyak kekurangan yang belum terpuaskan oleh pembaca, sehingga pembaca sulit memahaminya secara mendalam. Contoh: Seperti apa qarinah itu? Dan seperti apa hakikat untuk tahrim, karahah? Dalam buku ini tidak dijelaskan secara detail sehingga pembaca bertanya-tanya sendiri.

Kelebihan dalam buku ini sangat fleksibel, tidak membuat pembaca pusing meski banyak kata-kata yang belum dipahami oleh pembaca dan mudah untuk dibawa kemana-mana karena ukuran yang begitu tipis.

Rahmat Syafe’I, adalah dosen di UIN Sunan Gunung Jati Bandung, dan tidak hanya di situ dia merupakan dosen dari beberapa Universitas yang terdapat di bandung, dan merupakan asisten direktur pasca sarjana UIN Sunan Gunung Jati bandung. Tidak salah kalau kita mengatakan bahwa Rahmat Syafe’I ini menguasai berbagai ilmu agama, karena dia merupakan seorang pengasuh pondok pesantren Al-Ihsan Cibubur hilir-Celeunyi, dan juga merupakan ketua MUI Jabar, Bidang pengkajian dan pengembangan tahun 2000.


 SEMOGA BERMANFAAT ILMUNYA




Komentar

Pustaka Ilmu

Makalah Periode Kemunduran Islam

Makalah - Periode Kemunduran Islam (STAGNASI)

Makalah Tingkah laku tercela

Hadits tentang Persaudaraan Muslim

Pengertian Mudharabah, Macam-macam Mudharabah, landasan hukum dalam Mudharabah, Rukun, perkara dan hal yang membuat Mudharabahh SAH.

Makalah Filsafat Islam - Ikhwan As-Shafa'

Makalah Masailul al Fiqhiyah tentang Mengubah ciptaan Allah dalam Perspektif Islam

Tarikh Tasyri' - Kondisi Bangsa Arab sebelum ISLAM.

Makalah Administrasi Pendidikan - SISTEM PENGARSIPAN