Makalah Filsafat Islam - Ikhwan As-Shafa'
KATA
PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah tuhan seluruh alam, shalawat serta salam semoga tetap tercurah
limpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
serta kepada keluarganya, para sahabat, kepada para tabi’in-tabi’at dan insha
Allah akan sampai kepada kita selaku umatnya Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi
wa Sallam. Atas rahmat dan inayah-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini
yang membahas tentang filsafat Islam dari Ikhwan al-Shafa’.
Dan
tak lupa juga kami ucapkan terimaksih kepada Bpk Yosep Mardiana, S. Hum., M.Pd
selaku dosen filsafat Islam yang telah membimbing kami dalam penyusunan makalah
ini, kepada teman-teman juga yang ikut serta mendukung dalam penyusunan makalah
yang kami lakukan, dan tak lupa juga kepada orangtua kami yang selalu
memberikan do’a kepada kami, sehingga kami mendapatkan kemudahan dalam
penyusunan makalah kami.
Kami
sadar dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan, untuk itu kami
harap kepada pembaca yang budiman untuk memberikan kritik dan saran mengenai
makalah yang kami susun. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala melimpahkan
rahmat dan inayah-Nya kepada kita semua sehingga makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua terutama bagi pembaca dan penyusun makalah ini. Aamiin.......
Penyusun,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................................1
DAFTAR ISI..........................................................................................................................2
BAB 1: PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang.........................................................................................................3
1.2 Rumusan masalah....................................................................................................3
1.3 Tujuan penulisan......................................................................................................3
1.4 Manfaat penulisan ...................................................................................................4
BAB II: PEMBAHASAN
2.1 Biografi Ikhwan Al-Shafa’......................................................................................5
2.2 Karya dari Ikhwan Al-Shafa’..................................................................................7
2.3 Pemikiran Ikhwan Al-Shafa’...................................................................................8
2.4 Dampak (Implikasi) Filsafat
Ikhwan Al-Shafa’ di Era Globalisasi........................15
BAB
III: PENUTUP
3.1
Kesimpulan.............................................................................................................16
3.2
Saran.......................................................................................................................16
DAFTAR
PUSTAKA.........................................................................................................17
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang
Ilmu pengetahuan pada dasarnya sangatlah
luas dalam berbagai macam persoalan yang meluas serta di dasari oleh pemikiran
dan karakteristik yang berbeda. Hal ini sangat berarti dan penting dalam
perkembangan ilmu pengetahuan di dunia khususnya bagi perjalanan panjang ilmu
pengetahuan di islam itu sendiri.
Seperti halnya filsafat, sudah sangat
sering kita dengar dan kita ketahui bahwa awal mula munculnya filsafat adalah
berasal dari yunani, akan tetapi para filosof, para ahli agama, atau
orang-orang muslim semasanya yang senantiasa berfikir dan mengembangkan ilmu
pengetahuan ini untuk kemajuan bagi umat muslim.
Dengan seiring zaman berkembang, semakin
banyak orang yang melahirkan filsafat dan dicampur adukan dengan agama dengan
tujuan untuk selalu dekat dengan penciptan-Nya yaitu Allah Swt. Filsafat
sendiri sebelumnya sudah dipelajari oleh al-Kindi, al-Razi, Ibnu Sina dan
filsafat-filsafat lainnya. Lebih jelasnya kami akan membahas tentang filsafat
Ikwan al-Shafa’ dan pemikiran-pemikirannya yang mengacu pada ranah filsafat
Islam beserta perbedaan diantara pakar-pakar filsafat Islam yang lebih dahulu
dari ikhwan Al-shafa.
1.2 Rumusan
masalah
1.
Bagaimana
biografi Ikhwan al-Shafa’?
2.
Karya
apa saja yang dihasilkan oleh Ikhwan al-Shafa’?
3.
Bagaimana
pemikiran-pemikiran Filsafat Islam menurut Ikhwan al-Shafa’?
4.
Apa
saja dampak dari pemikiran Filsafat Ikhwan al-Shafa’ di era globalisasi?
1.3 Tujuan
penulisan
1.
Untuk mengetahui biografi dari Ikhwan al-Shafa’
2.
Untuk
mengenal karya-karya dari Ikhwan al-Shafa’
3.
Agar
mampu memahami pemikiran-pemikiran menurut Ikhwan al-Shafa’
4.
Untuk
mengetahui dampak apa saja dari pemikiran Filsafat Ikhwan al-Shafa’ di era
globalisasi
1.4 Manfaat
penulisan
a.
Manfaat
penulisan bagi masyarakat/pembaca:
1.
Mendapatkan
informasi tentang siapa Ikhwan al-Shafa’
2.
Masyarakat/pembaca
jadi mengetahui karya-karya dari Ikhwan al-Shafa
3.
Mampu
memahami perbedaan-perbedaan dalam pemikiran menurut Ikhwan al-Shafa’
4.
Masyarakat/pembaca
jadi lebih tahu mengenai dampak Pemikiran Filsafat Ikhwan al-Shafa (agar tidak
awam)
b.
Manfaat
penulisan bagi penyusun:
1.
Jadi
lebih mengenal Ikhwan al-Shafa
2.
Dapat
mengetahui karya-karya Ikhwan al-Shafa’
3.
Menambah
ilmu pengetahuan tentang pemikiran-pemikiran dari Ikhwan al-Shafa’
4.
Menjadi
lebih mengerti mengenai dampak Pemikiran Filsafat Islam Ikhwan al-Shafa’
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Lahir Ikhwan Al-Shafa’
Gambar
1.1 Ikhwan al-Shafa’
Ikhwan
al-shafa’ adalah nama sekelompok pemikir Muslim rahasia berasal dari sekte
Syi’ah Ismailiyah yang lahir di tengah-tengah komunitas Sunni sekitar abad ke-4 H 10 M di Basrah. [1]Bergerak dalam lapangan
ilmu pengetahuan walaupun kadang-kadang organisasi ini bertedensi politik,
sehingga ada orang yang beranggapan bahwa ia merupakan salah satu dari ormas
kaum syi’ah.
[2]Kelompok ini merupakan gerakan bawah tanah yang
mempertahankan semangat berfilsafat khususnya dan pemikiran rasional umumnya
dikalangan pengikutnya. Kerahasiaan kelompok ini, juga menamakan diri mereka Khulan al-wafa’, ahl al-Adl dan Abna’ al-Hamd, baru terungkap setelah
kekuasanya Dinasti Buwaihi yang berpaham Syi’ah di Bagdad pada tahun 983 M.
Kerahasiaannya ini mungkin dipengaruhi oleh paham taqiyah (menyembunyikan keyakinan) ajaran Syi’ah karena kegiatannya
berada ditengah-tengah Sunni yang tidak sejalan dengan ideologinya. Tokoh ini
ialah Ahmad ibnu Abd Allah, Abu Sulaiman Muhammad ibnu Nashr Al-Busti yang
terkenal dengan sebutan Al-Muqaddasi,Zaid ibnu Rifa’ah dan Abu Al-Hasan Ali
ibnu Harun Al-Zanjay.
Timbulnya
organisasi yang bergerak dalam bidang keilmuan dan juga bertendensi politik ini
ada hubungannya dengan kondisi dunia Islam ketika itu. Sejak pembatalan teologi
rasional Mu’tazilah sebagai mazhab negara oleh A-Mutawakkil, maka kaum
rasionalis dicopot dari jabatan pemerintahan, kemudian diusir dari Bagdad.
Berikutnya penguasa melarang mengajarkan kesusasteraan, ilmu, dan filsafat. Hal
ini menimgulkan suburnya cara berpikir tradisional dan meredupnya keberanian
berpikir rasional umat. Pada sisi lain, berjangkit pola hidup mewah dikalangan
pembesar negara. Maka, masing-masing golongan berusaha mendekati khalifah untuk
menanamkan pengaruhnya sehingga timbul persaingan tidak sehat yang menjurus
pada timbulnya dekadensi moral.
Berdasarkan
itulah lahirnya Ikhwan Al-Shafa’ yang ingin menyelamatkan masyarakat dan
mendekatkannya pada jalan kebahagiaan yang diridhai Allah. Menurut mereka,
syari’at telah dinodai bermacam-macam kejahilan dan dilumuri keanekaragaman
kesesatan. Salah satu jalan untuk membersihkannya adalah filsafat.[3]
Dalam
mengembangkan organisasi, mereka mempunyai cara halus untuk menambah anggota,
di mana mereka mengutus beberapa orang utusan ke segenap pelosok, agar mencari
orang-orang baik yang dianggap bisa sebagai anggota, terutama sekali di
kalangan pemuda, karena di tangan pemudalah organisasi ini bisa berkembang
pesat nantinya, sebab merekalah yang masih mempunyai daya dalam penbembangan
organisasi dari generasi ke generasi.
Pusat
organisasi juga menurunkan instruksi agar anggota-anggota yang berada di daerah
mengadakan pertemuan-pertemuan berkala dalam jadwal tertentu, guna
mendiskusikan ilmu pengetahuan dan kepentingan anggota. Dari hasil
diskusi-diskusi anggota ikhwan terkumpullah 51 risalah yang mereka namakan Rasail Ikhwanish-Shafa, yang mencakup
berbagai bidang pengetahuan, antara lain: Filsafat, psikologi, akhlak, ilmu
pasti dan lain-lain. Diantara pemuka dan pemikir Ihwanush-Shafa ialah:
1. Abu
Sulaiman Muhammad Al-Busti
2. Abu
Hasan Ali Az-Zanjani
3. Abu
Ahmad Al-Mahrajani
4. Al-Aufi
5. Zaid
bin Rif’ah
Ada
sebagian peneliti yang mengatakan, bahwa di antara pemuka organisasi ini
termasuk Abu Hayyan At-Tauhidi, dan
ada juga yang memasukkan Abu Al-Ala
Al-Ma’ari.[4]
Untuk memperluas gerakannya, kelompok ini mengirimkan orang-orangnya ke
kota-kota tertentu untuk membentuk cabang-cabang dan mengajak siapa saja yang
berminat pada keilmuan dan kebenaran. Untuk itu ada empat tingkatan anggota
sebagai berikut:
1. Ikhwan al-Abrar wa
al-Fudhala’, yakni kelompok yang berusia 15-30 tahun
yang memiliki jiwa yang suci dan pikiran yang kuat. Mereka berstatus murid,
karenanya dituntut tunduk dan patuh secara sempurna kepada guru.
2. Ikhwan al-Akhyar
wa al-Fudhala’, yakni kelompok yang berusia 30-40 tahun.
Mereka sudah mampu memelihara persaudaraan, pemurah, kasih sayang, dan siap berkorban
demi persaudaraan (tingkat guru-guru).
3. Ikhwan al-fudhala’
al-Kiram, yakni kelompok yang berusia 40-50 tahun. Dalam
kenegaraan kedudukan mereka sama dengan sultan atau hakim, mereka sudah
menguasai aturan ketuhanan sebagai tingkat para nabi.
4. Al-kamal,
yakni kelompok yang berusia 50 tahun ke atas. Mereka disebut dengan tingkat
al-muqarrabin min Allah karena mereka sudah mampu memahami hakikat sesuatu
sehingga mereka sudah berada di atas alam realitas, syariat dan wahyu
sebagaimana malaikat al-Muqarrabun.
Pada masa Khalifah Abbasiyah dikuasai Dinasti
Salajikah yang berpaham Sunni, gerakan kelompok ini dinilai mengganggu
stabilitas keamanan dan ajaran-ajarannya dipandang sesat. Maka pada tahun 1150
Khalifh Al-Muntanzid menginstruksikan agar seluruh karya filsafat Ikhwan
diserahkan kepadanya untuk dibakar. Hal ini disebut semata-mata perbedaan
ideologi antara penguasa Dinasti
Salajikah yang Sunni dengan kelompok Ikhwan Al-Shafa yang Syi’ah.[5]
2.2 Karya-karya Ikhwan Al-Shafa
Pertemuan
kelompok-kelompok Ikhwan al-Shafa ini menghasilkan karya tulis sebanyak 52
risalah yang mereka namakan dengan Rasa’il Ikwhan al-Shaafa’. Ditinjau dari
segi isi, Rasa’il ini dapat diklasifikasikan menjadi empat bidang:
1. 14
risalah tentang matematika, yang mencangkup geometri, astronomi, musik,
geografi, seni, modal, dan logika.
2. 17
risalah tentang fisika dan ilmu alam, yang mencangkup geneologi, mineralgi,
botani, hidup dan matinya alam, senang sakitnya alam, keterbatasan manusia, dan
kemampuan kesadaran.
3. 10
risalah tentang ilmu jiwa, mencangkup metafisika pythagoreanisme dan
kebangkitan alam.
4. 11
risalah tentang ilmu-ilmu ketuhanan, meliputi keperecayaan dan keyakinan,
hubungan alam dengan Allah, akidah mereka, kenabian dan keadaannya, tindakan
rohani, bentuk konstitusi politik, kekuasaan Allah, magic dan azimat.[6]
2.3
Filsafat Ikhwan Al-Shafa’
Ikhwan
Al-Shafa’ mendasarkan pengembangan ilmu mereka atas pengambilan beberapa mazhab
dan aliran dalam Islam, di samping juga mereka mengambil ilmu dari agama
Nasrani dan Watsani. Mereka juga mengambil kebenaran dari ajaran Nabi Nuh, Nabi
Ibrahim, Socrates, Plato, Zoroaster, Nabi Isa, Nabi Muhammad, Ali dan
lain-lain.
Cara
berfikir mereka memadukan antara agama dengan filsafat. Orang yang sanggup
berfikir dan memadukan antara ajaran agama dengan filsafat, dia lebih tinggi
dari orang yang semata-mata menjalankan syariat agama secara warisan. Orang
yang selalu berfikir akan bersih jiwanya, maka dengan demikian ia bisa mencapai
derajat yang tinggi sebagai Malaikat yang dekat dengan Tuhan.
Bagi
Ikhwanush-Shafa ayat-ayat al-Qur’an yang ditulis di atas kertas dan diajarkan
sebagai syariat itu hanyalah baru berupa simbol-simbol yang perlu difikirkan
pengertiannya.[7]
1. Al-Tawfiq
dan Al-Talfiq
Pemikiran al-tawfiq (rekonsiliasi)
Ikhwan al-Shafa’ telihat pada tujuan pokok bidang keagamaan yang hendak mereka
capai, yakni merekonsiliasikan atau menyelaraskan antara agama dan filsafat dan
juga antara agama-agama yang ada. Usaha ini terlihat dari ungkapan mereka bahwa
syariah telah dikotori bermacam-macam kejahilan dan dilumuri berbagai
kesesatan. Satu-satunya untuk membersihkannya adalah filsafat. Usaha
rekonsiliasi antara agama dan filsafat sebenarnya telah dilakukan al-Farabi dan
Ibnu Sina. Akan tetapi, bedanya kedua filosofi Muslim ini hanya mengupas keselarasan
kebenaran filsafat dan agama, sebagaimana yang termuat dalam al-Qur’an.
Sementara Ikhwan al-Shafa’ melangkah lebih jauh, mereka melepaskan sekat-sekat
perbedaan agama. Karenanya rekonsiliasi yang mereka maksud tidak hanya antara
filsafat dengan agama islam, namun juga antara filsafat dengan seluruh agama,
ajaran, dan keyakinan yang ada. Kemudian, dipertemukan dan disusun antara
filsafat Yunani dan syariah Arab, maka ia akan menghasilkan formlasi-formulasi
yang lebih sempurna.
Pada pihak lain,
tawfiq (rekonsiliasi) mereka lakukan dengan cara mengambil ajaran-ajaran
filsafat yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Mereka memahami ajaran
agama secara rasional. filsafat, menurut mereka, diawali dengan mencintai ilmu
pengetahuan, kemudian dengan filsafat juga memeahami hakikat segala seuatu, dan
diakhiri dengan beramal sesuai dengan pengetahuan.[8]
Menurut Ikhwan al-Shafa’ tujuan
filsafat dan agama adalah sama. Filsafat bertujuan untuk mendekatkan diri
kepada Allah sejauh kemampuan manusia dengan dasar ilmu yang benar, akhlak yang
mulia dan bertingkah laku yang terpuji. Agam juga dimaksudkan untuk mendidik
jiwa manusia dan mengantarkan mereka agar dapat mencapai kebahagiaan, baik di
dunia maupun di akhirat.
Pandangan mereka
tidak berbeda dengan pandangan para filosof Muslim pada umumnya. Menurut
filosofi Muslim agama memang seharusnya dinyatakan dalam lambang-lambang dan
simbol-simbol agar mudah dipahami oleh kaum awam yang merupakan bagian terbesar
untuk manusia. Filosof Muslim harus mengambil makna metaforis terhadap teks
al-Qur’an yang bernada antropomorfis. Jika tidak, tentu banyak pula ajaran
agama yang mereka tolak karena tidak masuk akal.
Mereka juga
melakukan pemaduan antara agama-agama yang ada, seperti Islam, kristen, majuzi,
yahudi, dan lainnya. Menurut mereka tujuan pertamanya itu sama untuk
mendekatkan diri kepada Allah dan yang kedua yakni dibidang politik.
Menurut mereka Daulat Abbasiyah telah
menjadikan negara dalam kerusakan, sedangkan penduduknya telah menjadi jelek
perbuatan mereka bermuara pada kekurangan dan kebinasaana. Sementara itu
penduduknya adalah ahl al-khair baik yang terdiri dari kaum ulama, ahli hikmah
dan orang yang utama atau pilihan, mereka sepakat atas pendapat yang satu,
mazhab yang satu dan agama yang satu.
Usaha
al-tawfiq diatas akan menghasilkan kesatuan filsafat dan kesatuan mazhab dan
akan melahirkan apa yang disebut dengan al-talfiq (elektrik), yang memadukan
semua pemikiran yang berkembang pada waktu itu, seperti pemikiran persia,
yunani, dan semua agama.
Elektik
yang mereka lakukan ialah dengan cara mengambil ajaran-ajaran dari sumber
manapun yang mereka nilai benar dan baik, selama tidak bertentangan dengan
ajran Islam.[9]
2. Ketuhanan
Dalam pembahasan
masalah ketuhanan, Ikhwan al-Shafa’ melandasi pemikirannya pada angka-angka
atau bilangan. Menurut mereka ilmu bilangan adalah lidah yang mempercakapkan
tauhid, al-tanzih dan meniadakan sifat dan tasybih serta dapat menolak atas
orang yang mengingkari keesaan Allah.
Mereka
katakan, angka satu sebelum angka dua, dan dalam angka dua terkandung
pengertian kesatuan. Dengan istilah lain, angka satu adalah angka yang pertama
dan angka itu lebih dahulu dari angka dua dan lainnya.
Ikhwan
al-Shafa’ juga melakukan al-tanzih dan meniadakan sifat serta al-tasybih pada
Allah Swt. Ia bersih dari bentuk dan berupa, ia adalah Zat yang Esa, yang tidak
mampu makhluk-Nya untuk mengetahui hakikat-Nya. Ia pencipta segala yang ada
dengan cara al-faidh (emanasi) dan memberi bentuk.
Dari
pembahasan diatas terlihat jelas besarnya pengaruh Neo-Pythagoreanisme yang
dipadukan dengan filsafat keeesaan Plotinus pada Ikhwan al-Shafa’. Tentang
adanya Allah, menurut Ikhwan merupakan hal yang sangat mudah dan nyata. Hal ini
disebabkan manusia dengan fitrahnya dapat mengenal Allah dan seluruh yang ada
ini akan membawa manusia pada kesimpulan pasti tentang adanya Allah yang
menciptakan segala yang ada.
Sebagaimana
Mu’tazilah, Ikhwan juga menolak sifa dan antrpomorfis bagi Allah, sebagaimana
yang satu tidaklah tersusun. Menurut mereka, meletakkan sifat kepada Allah
hanya sekedar metaforis, guna memudahkan pemahaman bagi masyarakat awam.
Tentang
ilmu Allah, mereka katakan bahwa seluruh pengetahuan berbeda dalam ilmu Allah
sebagaimana ilmu para pemikir, ilmu Allah dari zat-Nya sebagaimana bilangan
yang banyak dari bilangan yang satu, yang meliputi seluruh bilangan. Demikian pula ilmu Allah terhadap segala yang
ada.[10]
3. Emanasi
(al-Faidh)
Filsafat emanasi
Ikhwan terpengaruh oleh Pythagoras dan Plotinus. Menurut mereka, Allah adalah
pencipta dan mutlak Esa. Dengan kemauan sendiri Allah menciptakan akal pertama
atau akal aktif emanasi. Secara singkat rangkaian emanasi itu sebagai berikut:
Allah Maha Penciptan dan dari-Nya
timbullah:
a. Akal
aktif atau akal pertama (al-‘Aql al-Fa’al
b. Jiwa
Universal (al-Nafs al-Kullliyat)
c. Materi
pertama (al-Hayula al-Ula)
d. Alam
aktif (al-Thabi’at al Fa’ilat)
e. Materi
Absolut atau materi kedua (AL-Jism al-Muthlaq)
f. Alam
planet-planet
g. Unsur-unsur
alam terendah yaitu air, udara, tanah dan api
h. Materi
gabungan yang terdiri dari mineral, tumbuh-tumbuhan, dan hewan. Mausia termasuk
kedalam kelompok hewan, tetapi hewan yang berbicara dan berpikir.
Proses penciptaan secara emanasi di atas, menurut
Ikhwan terbagi menjadi dua: penciptaan sekaligus dan penciptaan secara gradual.
Penciptaan sekaligus apa yang mereka sebut alam rohani, yakni akal aktif, jiwa
universal, materi pertama dan alam aktif. Sementara itu penciptaan secara
gradual apa yang mereka sebut dengan alam jasmani, yakni Jisim mutlak dan
seterusnya. Jisim mutlak tercipta dalam zaman yang tidak terbatas dalam periode
yang panjang.
Pemikiran Ikhwan al-Shafa’ yang paling
mengagumkan yaknipada rentetan kedelapan emanasi, ia telah mendahului, bahkan
melebihi harles Darwin (1809-1882) tentang rangkaian kejadian di alam secara evolusi.[11]
4. Matematika
Dalam pembahasan
matematika, Ikhwan dipengruhi oleh Pythagoras yang mengutamakan pembahasannya
tentang angka atau bilangan. Menurut mereka angka mempunyai arti spekulatif
yagn dapat dijadikan dalil wujud sesuatu. Oleh sebab itu, ilmu hitung merupakan
ilmu yang mulia dibanding ilmu empirik karena tergolong ilmu ketuhanan.
Angka
satu merupakan dasar segala wujud dan merupakan permulaan yang absolut. Huruf
Hijaiyah yang 28 merupakan hasil
perkalian empat dan tujuh. Angka tujuh mengandung nilai kesucian, sedangka
angka empat menempati posisi penting dalam segala hal yang tercermin pada
ciptaan Allah terhadap segala sesuatu dialam ini.
Ilmu
bilangan berkaitan dengan planet, masing-masing mempunyai tugas khusus. Bulan
bertugas membuat tubuh manusia tumbuh dan berkembang, Merkuri bertugas
mencerdaskan akal, matahari bertugas memberi nikmat, mars memberikan sifat
keberanian, keperkasaan dan kemuliaan , yupiter membimbing manusia dalam
pengembaraannya sampai pada kehidupan akhirat. Termasuk pengiriman nabi, juga
berhubungan dengan peranan planet-planet tersebut.[12]
5. Jiwa
Manusia
Jiwa manusia
bersumber dari jiwa Universal. Dalam perkembangannya jiwa manusia banyak
dipengaruhi materi yang mengintarinya. Agar jiwa tidak kecewa dalam
perkembangannya, maka jiwa dibantu oleh akal yang merupakan daya bagi jiwa
untuk berkembang. [13]Pada mulanya jiwa manusia
itu adalah kosong, tetapi setelah inderanya berfungsi, mulailah ia menerima
rangsangan alam sekitar. Semua rangsangan inderawi ini melimpah ke dalam jiwa,
pertama kali ialah memasuki daya fikir, diolah untuk selanjutnya disimpan di
dalam rekoleksi atau daya simpan,
akhirnya sampailah ia melalui daya penuturan.
Manusia mempunyai lima kekuatan jiwa,
yaitu:
1. Daya
imajinasi, letaknya di bagian muka
2. Daya
fikir, letaknya di tengah-tengah otak
3. Daya
simpan, letaknya di bangian belakang otak
4. Daya
ingat
5. Daya
tutur
Kelima
daya inilah yang melakukan aktivitasnya didalam raga manusia untuk memenuhi
kebutuhan hidup.[14]
Tingkatan terakhir adalah daya berbicara, yaitu kemampuan mengungkapkan pikiran
dan ingatan melalui tutur kata yang bermakna kepada pendengar atau
menuangkannya lewat bahasa tulis kepada pembaca.
Dalam
tubuh manusia, jiwa memiliki tiga fakultas, diantaranya:
a. Jiwa
tumbuhan
Jiwa ini memiliki oleh semua makhluk
hidup, jiwa ini terbagi dalam tiga daya: makan, tumbuh dan reproduksi.
b. Jiwa
hewan, jiwa ini hanya dimiliki hewan dan manusia, ia terbagi dalam dua daya:
penggerak dan sensasi (persepsi dan emosi)
c. Jiwa
manusia, jiwa ini hanya dimiliki manusia, jiwa yang menyebabkan manusia
berpikir dan berbicara.
Sementara
itu Ikhwan sama pendapatnya dengan filosof Muslim pendahulunya, yakni
kebangkitan berbentuk rohani. Surga dan neraka dipahami dalam makna hakikat.
Surga adalah kesenangan dan neraka adalah penderitaan.
6. Epistimologi
Akal manusia
selalu bekerja untuk menciptakan ilmu dan keterampilan. Ilmu yang dihasilkan
oleh kegiatan akal itu merupakan bentuk dari sesuatu yang diketahui leh jiwa.
Sedangkan keterampilan dalah bentuk dari kegiatan daya fikir yang menjelma ke
alam materi. Demikian faham mereka tentang hakikat ilmu pengetahuan.
Untuk
mencapai ilmu pengetahuan itu perlu ditempuh tiga jalan:
1. Penginderaan
terhadap objek: dalam hal ini terdapat kesamaan antara manusia dengan hewan
2. Pemikiran:
dengan pemikiran berbedalah manusia dengan hewan, sebab manusia dapat
memikirkan apa yang diinderainya tetapi hewan tidak
3. Burhan:
argumentasi, yang merupakan tingkat ketiga dan yang tertinggi dari jalan
manusia mendapatkan ilmu. Dan argumentasi ini merupakan kenyalangan mata hati
dalam mencapai hakikat. Ia hanya didapatkan oleh sebagian manusia.[15]
7. Moral
Adapun tentang
moral, ikhwan al-shafa’ bersifat rasionalistis.Dalam mencapai tingkat moral
dimaksud, seseorang harus melepaskan diri dari ketergantungan kepada
materi.Harus memupuk rasa cinta untuk bisa sampai pada ekstase. Percaya tanpa
usaha, mengetahui tanpa berbuat adalah sia-sia. Kesabaran dan ketabahan,
kelembutan dan kehalusan kasih sayang, keadilan, rasa syukur, mengutamakan
kebajikan, gemar berkorban untuk orang lain kesemuanya harus menjadi
karakteristik pribadi. Sebaliknya, bahasa kasar, kemunafikan, penipuan,
kezaliman, dan kepalsuan harus dikikis habis sehingga timbul kesucian persaan,
kecintaan yang membara sesama manusia, dan keramahan terhadap alam, binatang
liar sekalipun. (Dr. Hasyimsyah Nasution 1998)
Moralitas
diperuntukan sebagai pelatihan bagi jiwa agar tetap bersih dan terjaga dari
kotoran-kotoran material. Jiwa yang bersih dinilai mampumenangkap
kilatan-kilatan cahaya Ilahi dan entitas-entitas yang bercahaya. Semakin bersih
jiwa, makin dekat manusia pada pemahaman atas makna-makna yang dikandung kitab
suci. Pemahaman atas makna-makna tersebut, pada akhirnya benar-benar membantu
manusia untuk mengakui persamaan dan keselarasan antara agama dan tindakan
rasional dalam filsafat. Sekali lagi, jika jiwa terpengaruh oleh permintaan
ragawi material, semakin sulit menemukan jalan menuju pengethauan. Ikhwan
al-Shafa’ menyatakan bahwa pengetahuan apapun yang ditangkap manusia tidak
lebih berguna ketimbang pengetahuan diri. Pengetahuan akan diri merupakan
pengetahuan utama dalam hubungannya dengan prinsip moralitas. (Hasan Basri,
Zaenal Mufti, 2009: 115-116)[16]
2.4
Dampak (Implikasi) Pemikiran Filsafat Islam Ikhwan
Al-Shafa’ di Era Globalisasi
Ada
beberapa implikasi dari pemikiran Ikhwan Al-Shafa’ diantaranya tentang manusia,
pengetahuan, ilmu/program kurikuler dan belajar, maka mereka membangun teori
pendidikan yang komprehensip, sempurna dan gradual (sedikit-sedikit).
Menurut
Ikhwan Al-Shafa pengetahuan umum dapat diperoleh dengan tiga cara: indera, akal
untuk berfikir murni, dan inisiasi. Melalui panca indera manusia dapat
memperoleh pengetahuan tentang perubahan-perubahan yang dapat ditangkap oleh
panca indera. Melalui akal yang
dibantu panca indera, akal sebagai alat untuk memahami dan menggambarkan
sesuatu agar seseorang mencapai hakikat yang menuntunnya beriman kepada-Nya. Melalui inisiai yang berkaitan erat
dengan doktrin, yakni seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara langsung
dari guru.
Secara
tersirat bahwa dalam konsep manusia (peserta didik) dalam pandangan Ikhwan
Al-Shafa’ secara halus menguatkan pengakuan mereka tentang ragam potensi
psikomotorik, kognitif, dan afektik pada masing-masing individu.
Pandangan
Ikhwan Al-Shafa’ menetapkan fungsi-fungsi spiritual yang bersifat afektif dan
membandingkan pada fungsi-fungsi lainnya. Hal ini sangat terlihat bahwa Ikhwan
Al-Shafa sangat mengedepankan religiousitas dan akhlak seseorang sebagai
bagian pada kependidikan. Selain itu
tujuan luhur kependidikan ialah pengenalan diri. Melalui pengenalan seseorang
terhadap dirinya sendiri maka ia dapat mengenal Tuhan-Nya.[17]
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Ikhwan al-shafa’ adalah Nama
sekelompok pemikir Muslim rahasia berasal dari sekte Syi’ah Ismailiyah yang lahir
di tengah-tengah komunitas Sunni sekitar abad
ke-4 H 10 M di Basrah. Kelompok
ini merupakan gerakan bawah tanah yang mempertahankan semangat
berfilsafat khususnya dan pemikiran rasional umumnya dikalangan pengikutnya. Timbulnya
organisasi yang bergerak dalam bidang keilmuan dan juga bertendensi politik ini
ada hubungannya dengan kondisi dunia Islam ketika itu.
Ikhwan
al-Shafa ini menghasilkan karya tulis sebanyak 52 risalah yang mereka namakan
dengan Rasa’il Ikwhan al-Shaafa’ yaitu: 14 risalah tentang matematika, 17
risalah tentang fisika dan ilmu alam, 10 risalah tentang ilmu jiwa, 11 risalah
tentang ilmu-ilmu ketuhanan. Dalam hal pemikiran-pemikiran, Ikhwan Al-Shafa’
mendasarkan pengembangan ilmu mereka atas pengambilan beberapa mazhab dan
aliran dalam Islam. Bagi Ikhwanush-Shafa ayat-ayat al-Qur’an yang ditulis di
atas kertas dan diajarkan sebagai syariat itu hanyalah baru berupa
simbol-simbol yang perlu difikirkan pengertiannya. Diantaranya pemikiran Ikhwan
al-Shafa’ ialah: Al-Tawfiq dan Al-Talfiq, ketuhanan, emanasi, matematika, jiwa
manusia, dan epistimologi.
Dampak
(Implikasi) Pemikiran Penidikan Ikhwan Al-Shafa’ di Era Globalisasi
Ada
beberapa implikasi dari pemikiran Ikhwan Al-Shafa’ diantaranya tentang manusia,
pengetahuan, ilmu/program kurikuler dan belajar, maka mereka membangun teori
pendidikan yang komprehensip, sempurna dan gradual (sedikit-sedikit).
Secara
tersirat bahwa dalam konsep manusia (peserta didik) dalam pandangan Ikhwan
Al-Shafa’ secara halus menguatkan pengakuan mereka tentang ragam potensi
psikomotorik, kognitif, dan afektik pada masing-masing individu.
3.2
Saran
1. Mohon
untuk lebih mendetail tentang filsafat Ikhwan al-Shafa’
2. Gunakanlah
bahasa yang mudah dimengerti oleh pembaca
DAFTAR PUSTAKA
Zar,
sirajuddin. 2014. Filsafat Islam. Depok: Rajagrafindo persada.
Ali,
yuniasril. 1991. Perkembangan pemikiran falsafi dalam Islam. Jakarta: Bumi
Aksara.
http://fuadmukti.blogspot.co.id/2016/01/pendidikan-islam-dalam-pandangan ikhwan/65_html/4.03 p.m/2018/03/02
[1]
Sirajuddin Zar, filsafat Islam (Depok: Rajagrafind persada, 2014), hal. 143
[3]
Sirajuddin Zar, filsafat Islam (Depok: Rajagrafindo persada, 2014), hal.
143-145
[4]
Yuniasril Ali, perkembangan pemikiran falsafi dalam Islam (Jakarta: Bumi
Aksara, 1991), hal. 20-21
[5]
Sirajuddin Zar, filsafat Islam (Depok: Rajagrafindo persada, 2014), hal.
145-146
[7]
Yuniasril Ali, perkembangan pemikiran falsafi dalam Islam (Jakarta: Bumi
Aksara, 1991), hal. 21-22
[9]
Sirajuddin Zar, filsafat Islam (Depok:
Rajagrafindo persada, 2014), hal. 148-150
[12]
Sirajuddin Zar, filsafat Islam (Depok: Rajagrafindo persada, 2014), hal.
155-156
[13]
Sirajuddin Zar, filsafat Islam (Depok: Rajagrafindo persada, 2014), hal. 156
[14]
Yuniasril Ali, perkembangan pemikiran falsafi dalam Islam (Jakarta: Bumi
Aksara, 1991), hal. 24
[15]
Yuniasril Ali, perkembangan pemikiran falsafi dalam Islam (Jakarta: Bumi
Aksara, 1991), hal. 22
[16] http://filsafatkebingungan.blogspot.co.id/2015/10/makalah-filsafat-islam-ikhwan-al-shafa.html/11.46/2018/04/30
Komentar
Posting Komentar