Makalah Periode Kemunduran Islam




           BAB I
PENDAHULUAN

  A.    Latar Belakang
            Pemikiran hukum dalam periode ini adalah para ahli hukum tidak lagi memusatkan usahanya untuk memahami prinsip-prinsip atau ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Alquran dan Sunnah  Nabi Muhammad, tetapi pikirannya ditumpukan pada pemahaman perkataan-perkataan, pikiran-pikiran hukum para imam-imamnya saja. Perkembangan masyarakat yang berjalan terus dan persoalan-persoalan hukum yang ditumbuhkannya pada masa ini tidak lagi diarahkan dengan hukum dan dipecahkan sebaik-baiknya seperti zaman-zaman sebelumnya. Dinamika masyarakat yang terjadi terus-menerus itu tidak lagi ditampung dengan pengembangan pemikiran hukum pula. Dengan kata lain, masyarakat terus berkembang sedang pemikiran hukumnya berhenti. Terjadilah “kemunduran” dalam perkembangan hukum Islam. Sejak itu, mulailah gejala untuk mengikuti saja pendapat para ahli sebelumnya (ittiba’ –taqlid), yang masa ini sering di kenal sebagai zaman kelesuan pemikiran ( zaman kegelapan / reinasancce ).
            Derajat dan otoritas keilmuan para ulama madzhab yang telah menelurkan berbagai produk fiqih monumental ketika itu, tidak sedikit melahirkan berbagai pengaruh signifikan di eranya, baik pengaruh dinamis berupa gerakan berijtihad pada satu sisi, maupun berupa pengaruh sikap puas dan merasa final dalam berijtihad pada sisi lain. Dengan kata lain, kerja keras dan keteladanan para ulama madzhab dalam berijtihad pada masanya disenyalir telah memberikan inspirasi tersendiri bagi sebagian para fuqaha pasca ulama madzhab untuk melakukan kegiatan yang sama. Namun di sisi lain gerakan dinamis yang sarat dengan kerangka metodologis yang komperehensif dan holistik itu, tanpa terasa telah menaklukkan, melumpuhkan, dan menenggelamkan sederet kemauan dan kemampuan nalar kritis tradisi berijtihad para fuqaha pasca ulama madzhab. Lebih dari itu, kemudian mereka mengkultuskan dan mensakralkan produk-produk fiqih ulama madzhab yang mereka nilai sangat monumental itu. Sejak itulah, kerja keras sebagian para ulama muqallidun ini terbatas pada perilaku memuja-muja karya ulama madzhab, mengkultuskannya, dan bahkan berusaha menciptakan suasana yang membawa umatnya memiliki sikap panatisme madzhab yang berlebihan. Energi keilmuan mereka lebih difokuskan pada persiapan-persiapan membangun dan mengokohkan argumentasi-argumentasi logis yang dapat menjaga dan melindungi kebenaran hasil produk ijtihad para ulama madzhab tersebut.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana kondisi politik dan tasyri’ pada masa kemunduran?
2.      Bagaimana format hukum islam pada periode kemunduran?
3.      Bagaimana aktivitas ilmiah dan upaya ulama dalam mengatasi kemunduran?

C.    TUJUAN PENULISAN
1.    Mengetahui kondisi politik dan tasyri’ pada masa kemunduran.
2.    Mengetahui format hukum islam pada periode kemunduran.
3.    Mengetahui aktivitas ilmiah dan upaya ulama dalam mengatasi kemunduran.






























BAB II
PEMBAHASAN

1.     AWAL MULA KEMUNDURAN (Stagnasi)
Periode ini dimulai dari abad 10-11 M / 310 H, sejak berakhirnya kekuasaan bani Abbas sampai abad ke 19. Periode ini , ditandai dengan menyebarkan pusat pusat kekuasaan islam di beberapa wilayah , sehingga umat islam sendiri dapat dikatakan dalam kondisi yang lemah dan berada dalam kegetiran. Dalam kondisi tersebut , jika keadaan negara (daulah) lemah, maka akan muncul banyak fitnah dan mihnah , sehingga hilanglah persaudaraan dan persatuan dikalangan umat islam dan sebaliknya menjadi permusuhan.
Pada masa ini , hukum islam mulai mengalami stagnasi (jumud) . hukum islam tidak digali dari sumber utamanya (alqur’an dan sunnah) , para ulama masa kini lebih banyak sekedar mengikuti dan mempelajari pikiran dan pendapat  dalam mazhab yang sudah ada (taqlid). Dari sini terlihat mulai ada kecenderungan mazhab lain, seolah olah kebenaran merupakan hak prerogative mazhab yang dianutnya , sehingga tak salah jika masa ini merupakan fase pergeseran orientasi dari Alquran dan sunnah menjadi orientasi kepada pendapat ulama.
Sebagaimana diketahui , pada masa abad ke IV telah terbentuk mazhab-mazhab fikih. Namun kecenderungan yang tidak begitu baik segar dalam perkembangan fikih yakni munculnya ketergantungan kepada mazhab dan tumbuhnya perasaan berkecukupan secara meluas dan mendalam. Para ulama berupaya menjaga pendapat mazhab fikihnya dengan mengembangkan pemikiran mazhabnya secara internal melalui pembuatan ringkasan ringkasan (mukhtasyar) terhadap kitab kitab fikih yang terlalu tebal. Selain itu ulama ulama pada fase ini melakukan ulasan ulasan dan penjelasan penjelasan (syarah) serta penjelasan dari kitab yang sudah dibuat penjelasannya (khassiyyah) terhadap kitab kitab fikihyang ringkas atau kurang luas, sehingga dalam proses belajar fikih menjadi berat, yakni harus menguasai , menghafal, dan menjaga seluruh isi kitab fikih dan menjaga cara – cara (istinbath ahkam) yang ditempuh. Selain itu aktifitas ulama juga terfokus pada pentarjihan terhadap pendapat pendapat yang berbeda – beda dalam suatu mazhab, baik itu dari segi riwayah maupun dirayah.[1]


A.  Kondisi Politik dan Tasyri’ Pada Masa Kemunduran
            DR. Muhammad Farouq al-Nabhan menyebut tiga sebab stagnasi pemikiran pada zaman ini: faktor-faktor politik, campur tangan penguasa dalam kekuasaan kehakiman dan kelemahan posisi ulama dalam menghadapi umara.
            Untuk yang pertama, kita ingin menegaskan kembali bahwa madzhab berkembang karena dukungan politik. Maka ketika satu madzhab memperoleh kekuasaan, pemikiran yang bertentangan dengan madzhab itu ditindas. Jika kita membaca kitab-kitab sejarah madzhab, kita akan menemukan bagaimana seseorang yang berbeda madzhab atau berganti madzhab menghadapi berbagai cobaan. Lebih-lebih bila berbeda pendapat dengan madzhab penguasa.
            Untuk sebab kedua, telah ditunjukkan bagaimana para ulama berebutan menjadi qadhi. Qadhi diangkat oleh penguasa. Qadhi tidak ingin mengambil risiko berbeda pendapat dengan madzhabnya, karena ia dapat dikucilkan oleh masyarakat, didiskreditkan ulama dan diadukan pada penguasa. Karena itu, yang paling aman adalah mengikuti pendapat para imam mazhab yang sudah dibukukan. Di sini harus dicatat: dalam sejarah, para penguasa Muslim lebih sering menindas kebebasan pendapat dari pada mengembangkannya. Di samping itu, posisi ulama yang lemah memperkuat fanatisme madzhab. Ulama sangat bergantung kepada umara. Umara tentu saja selalu berusaha mempertahankan status quo, demi “ketertiban dan keamanan”.
            Dalam posisi seperti itu, kalau pun ulama berijtihad, ijtthadnya hanyalah dalam rangka memberikan legitimasi pada kebijakan penguasa. Contoh terakhir adalah pernyataan para ulama Rabithah yang mendukung kehadiran tentara Amerika di Jazirah Arab. Empat puluh tiga hari sebelum Saddam menyerbu Kuwait, para ulama dari 70 negara Islam menyatakan bahwa Saddam sebagai mujahid Islam yang taat pada Allah dan al-Qur’an. Setelah invasi, para ulama yang sama menyatakan Saddam sebagai bughat dan pemimpin dhalim. Bukankah ini ijtihad dan setiap ijtihad selalu mendapat pahala? Bila ijtihadnya salah, ia mendapat satu pahala, dan bila benar dua.
            Abd al-Wahhab Khalaf menyebutkan empat faktor yang menyebabkan kemandegan. Yaitu terpecahnya kekuasaan Islam menjadi negara-negara kecil hingga umat disibukkan dengan eksistensi politik; terbaginya para mujtahid berdasarkan madrasah tempat mereka belajar; menyebarnya ulama mutathaffilin (ulama yang memberi fatwa berdasarkan petunjuk Bapak); dan menyebarnya penyakit akhlak seperti hasud dan egoisme di kalangan ulama.
            Awal kebekuan ijtihad yang disebabkan oleh beberapa faktor yang sangat komplek, telah menyebabkan kejumudan pemikiran fiqh. Berbagai faktor, baik faktor politik, mental, sosial dan sebagainya telah mempengaruhi kegiatan pemikiran ulama pada saat itu dalam lapangan hukum, sehingga membawa sikap mereka menjadi tidak sanggup mempunyai orisinalitas kepribadian dan pemikiran sendiri, melainkan mereka harus selalu bertaqlid. Beberapa faktor tersebut antara lain:
 1.    Pergolakan politik. Chaos politik telah mengakibatkan terpecahnya Negeri Islam menjadi beberapa negara kecil, sehingga negeri-negeri tersebut selalu mengalami kesibukan perang, fitnah memfitnah dan hilangnya ketentraman masyarakat. Salah satu dampak riilnya adalah kurangnya perhatian kemajuan ilmu pengetahuan.
 2.    Pada fase ketiga (pembangunan, perkembangan dan kodifikasi hukum Islam) telah timbul madzhab-madzhab yang mempunyai manhaj dan cara berfikir sendiri di bawah seseorang imam mujtahid. Sebagai kelanjutannya ialah bahwa pengikut-pengikut madzhab tersebut berusaha membela madzhabnya sendiri dan memperkuat dasar-dasar madzhab maupun pendapat-pendapatnya dengan cara mengemukakan alasan-alasan kebenaran pendirian madzhabnya dan menyalahkan pendirian madzhab lain. Situasi ini menyibukkan para ulama madzhab dan membelokkan mereka dari asas pembentukan hukum yang pertama, yakni al-Qur’an dan as-sunnah, dan sedikit di antara mereka yang berhasrat kembali pada nash Al-Qur’an dan As-Sunnah kecuali hanya untuk memperkokoh madzhab yang dianutnya, walaupun harus menempuh penyimpangan dalam memahami dan menta’wilkannya. Dengan demikian tenggelamlah kepribadian seorang alim dalam golongannya dan matilah semangat kemerdekaan berfikir, sehingga jadilah mereka itu sebagai pengikut atau muqallidun.
 3.    Kodifikasi pendapat-pendapat madzhab telah memudahkan seseorang untuk mencari jawaban atas permasalahan yang dihadapinya. Pada fase-fase sebelumnya, para fuqaha terpaksa harus berijtihad karena dihadapkan kepada hal-hal yang tidak ada hukumnya dalam syara’. Setelah hasil ijtihad mereka kumpulkan dan mereka bukukan, baik untuk hal-hal yang telah terjadi maupun yang kemungkinan akan terjadi, maka orang-orang sesudah mereka hanya mencukupkan dan merasa puas dengan pendapat yang telah ada. Dengan demikian menjadi bekulah pemikiran fiqh. Akan tetapi, pada masa sesudahnya, hakim-hakim diangkat dari orang-orang yang bertaqlid, agar mereka memakai madzhab tertentu (sesuai madzhab penguasa) dan terputus hubungannya dari madzhab yang tidak dipakai penguasa dipengadilan. Apalagi pada saat itu diperparah oleh situasi di mana beberapa hakim yang Pada masa-masa sebelumnya, para hakim terdiri dari orang-orang yang mampu melakukan ijtihad sendiri, bukan dari pengikut-pengikut mereka, yang ditunjuk oleh penguasa mampu berijtihad, keputusannya acapkali menjadi sasaran kritik dan objek penentangan dari penganut madzhab-madzhab tertentu.
 4.    Penutupan pintu ijtihad. Karena para ulama pada saat itu tidak mengadakan tindakan-tindakan tertentu dalam bidang penetapan pendapat atau mengadakan jaminan agar ijtihad tidak dilakukan oleh orang-orang yang tidak berhak. Dari sini timbulah kekacauan dalam persoalan ijtihad. Pada akhir abad keempat hijriyah, para ulama menetapkan  tertutupnya pintu ijtihad dan membatasi kekuasaan para hakim dan mufti dengan pendapat-pendapat atau hasil ijtihad ulama sebelumnya. Solusi yang ditetapkan para ulama pada saat itu pada dasarnya menjawab kekacauan dengan kebekuan stagnasi dalam hukum.
            Abdul Wahhab Khallaf menambahkan satu lagi penyebab kebekuan  pemikiran fiqh yaitu: “Bahwasanya sudah tersebar luas di kalangan para ulama berbagai penyakit moral yang menghalangi mereka dari ketinggian derajat ijtihad. Di kalangan mereka sudah merata penyakit saling menghasut dan egoisme (mementingkan diri sendiri ataupun kelompoknya), serta ta’ashub (fanatisme madzhab). Jika ada yang mencoba mengetuk pintu ijtihad, maka dianggap mencari kemasyhuran diri, dan jika berani berfatwa, maka akan ditentang dengan fatwa-fatwa tandingan ataupun cara-cara positif dan negatif yang lain.

 B.  Format Hukum Islam Pada Periode Kemunduran
       Zaman kejayaan umat Islam yang terbangun sebelumnya pada saat itu mulai berangsur-angsur menemukan titik kesuramannya. Kemunduran itu mulai terlihat sejak abad keempat hijriah atau sejak Tahun 351 H. Setelah masa imam-imam mujtahidin berlalu, datanglah zaman kemunduran, taqlid dan kebekuan. Disebut demikian karena pada zaman tersebut pudarlah semangat ijtihad, merajalelanya taqlid buta dan timbulnya kebekuan dalam studi hukum islam.
       Pada zaman itu seolah-olah pintu ijtihad telah tertutup. Para ulama sudah lemah kemauannya untuk menggapai tingkatan mujtahid mutlak sebagaimana para ulama madzhab. Demikian pula semangatnya untuk kembali pada sumber-sumber hukum otoritatif, yakni nash-nash al-qur’an dan sunah telah mulai pudar, hal ini disebabkan karena tingkat panatismenya pada produk hukum fiqih yang ada lebih dominan. Padahal semangat itu semua diperlukan dalam rangka menggali hukum-hukum dan mengistimbatkan hukum yang tidak ada nashnya dengan salah satu dalil dari dalil-dalil syar’i.[2]
       Sekalipun demikian selama periode taqlid, bukan berarti hukum islam tidak disajikan dengan nalar-nalar yang orisinil, dimana beberapa aliran saling bersaing untuk mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Hanya saja apa yang dapat dinyatakan sebagai fikiran-fikiran yang orisinil itu hanyalah fikiran sistematik yang abstrak yang tidak memberikan pengaruh, baik kepada keputusan hukum positif yang sudah ada maupun kepada doktrin klasik dalam bidang ushul fiqh. Kebanyakan perkembangan yang bersifat teoretis ini sangat bebas dari Al-Qur’an, hadist dan ijma’, yang secara teknis menggambarkan bagaiman cara pemikiran hukum islam, masih perlu untuk diselidiki.
       Menurut pandangan Ahli Tarikh Tasyri’, zaman taqlid ini telah mengarungi tiga periode di dalam sejarah Islam. Pertama, dari abad keempat hijriah sampai jatuhnya Bagdad ketangan bangsa Tartar (pertengahan abad ketujuh hijriah). Pada masa ini permulaan adanya taqlid. Masing-masing ulama mulai menegakkan fatwa imamnya, menyeru umat supaya bertaqlid akan madzhab yang dianutnya.
       Ulama Irak mempropagandakan supaya orang bertaqlid kepada madzhab Imam Malik. Sementara di kota yang menjadi centrum ilmu fiqh, lahir ulama-ulama yang menyerukan madzhab Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal. Hanya dalam satu masalah saja mereka menentang fatwa imamnya dan inipun jarang dilakukan. Mereka mulai mengkaji hukum-hukum karangan imam masing-masing menjadi mata pelajaran, dikaji dan diajarkan. Dimana-mana tempat dan kota sering diadakan munadzarah atau perdebatan untuk menegakkan madzhab imamnya masing-masing. Sehingga perpecahan sesama umat Islam mulai tampak dalam pergaulan hidup.
       Kedua, dari abad keempat hijriah sampai abad kesepuluh hijriah. Dalam periode ini bersifat lebih nyata, sedang ulama-ulama yang berani merobek tirai taqlid telah amat kurang. Di antara mereka yang masih menggunakan daya ijtihad di periode ini ialah: Al Bulqini (724 H-809 H ), Ibnu Rif’ah (645 H-710 H), Ibnu Taimiyah ( 661 H-728 H ), Ibnu Hajar Al Asqolani ( 773 h- 858 H ), dan lain-lain.
       Ketiga, dari abad kesepuluh hijriah sampai kezaman Muhammad Abduh. Adapun pada masa ini,  ruh taqlid benar-benar padam. Fatwa –fatwa haram berijtihad pun hidup di tengah-tengah para ulama. Bahkan taqlid di masa itu tidak langsung lagi kepada mutaqoddimin dan salaf yang saleh, namun hanya berhenti kepada seseorang alim yang mendahului mereka saja. Sebut saja misalnya, mereka telah menghentikan taqlid dimasa ini kepada Ibnu Hajar Al- Haitami, Ahmad Ar Ramli dan Zakariyya Al Anshori saja. Paling jauh mereka menghentikan taqlid di sisi An Nawawi dan Ar Rafi’i di kalangan Syafi’iyah, di sisi Ibnu Humam di kalangan Hanafiyah, di sisi Al Mazari di golongan Malikiyah dan di sisi Ibnu Qudamah di kalangan Hanabilah.
       Periode ini ijtihad telah amat padam. Namun dipertengahan abad ke-17 muncullah dua orang mujtahid, yaitu Muhammad Ibnu Ismail Al Amir Ash Shan’am, selanjutnya di awal abad ke 20 muncullah seorang ahli politik Islam yakni Imam Muhammad Abduh dan menumbuhkan kembali ruh ijtihad tersebut.
       Dari rentang waktu yang relative lama itu, masa yang terkenal dengan fase kemunduran hukum Islam berada pada abad keempat sampai abad ketigabelas Hijriah.3 Mereka merasa sudah cukup mengikuti pendapat-pendapat yang ditinggalkan oleh Imam-imam mujtahidin yang sebelumnya, seperti Imam malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal.
       Sejarah yang panjang telah mencatat berbagai faktor yang melatarbelakangi dinamika kehidupan keilmuan pada saat itu. Pada umumnya sejarah panjang itu telah tercatat sebagai sejarah yang konteks sosio-kulturalnya memperlemah pengaruh tiap-tiap prinsip kebangkitan keilmuan para ulama serta menghalangi aktifitas mereka dibidang hukum-hukum Islam dan pengembangannya hingga menyebabkan kebekuan hukum.
       Adapun aktifitas ulama pada zaman ini antara lain menyusun ringkasan-ringkasan kitab. Di antara kitab-kitab mukhtashar ternyata banyak pula yang menimbulkan pertanyaan, maka disusun  pula kitab syarahnya. Meskipun demikian, kita tidak menutup mata, tidak semua ulama berlaku demikian. Sebab ada satu dua orang yang tetap berfikir dinamis dan kreatif sekalipun mereka berhadapan dengan tantangan-tantangan dari para penguasa, yang siap menjebloskannya kedalam penjara karena keteguhan pendiriannya.
       Klimaks kecenderungan mereka terhadap ucapan-ucapan atau hasil ijtihad Imam-imam mazhab yang dianutnya sudah sedemikian rupa, sampai-sampai Abu Hasan Al-Kurkhi dari pengikut Abu Hanifah berkata: “setiap ayat al-qur’an atau hadits yang bertentangan dengan sesuatu yang ada pada Imam-imam kami, maka yang demikian itu meniscayakan bahwa pandangan-pandangan yang bertentangan tersebut ditakwili”.
       Dengan demikian pembentukan hukum pada saat itu hanya terbatas pada apa yang disampaikan oleh para imam-imam mujtahid periode terdahulu, tidak memperhatikan perjalanan yang ada atau terjadi serta tidak mengamati perkembangan masyarakat, kemajuan ilmiah dan muamalah, urusan peradilan-peradilan dan kejadian-kejadian problematika hukum yang baru.
 C.  Aktivitas Ilmiah dan Upaya Ulama dalam Mengatasi Kemunduran
          Meskipun masa tersebut kita namakan masa kemunduran dan kebekuan pemikiran fiqh secara umum dan meskipun terdapat banyak faktor yang mematikan para ulama melakukan ijtihad mutlaq dan mengembangkan hukum-hukum syar’i dari sumber-sumbernya yang pertama (al-qur’an dan hadits), namun tidaklah berarti mematikan secara mutlak usaha-usaha pencurahan kesungguhan sebagian mereka. Sebagian di antara mereka dalam pembentukan hukum di lingkungan daerah-daerah mereka yang terbatas. Oleh karena itu, masa ini tidak sepi dari fuqaha-fuqaha bebas yang menentang taqlid buta dan menyuarakan kembali kepada al-qur’an dan hadist secara konsekuen, sekalipun kreatifitas dan dinamisasi berfikir mereka ini harus berhadapan dengan tantangan-tantangan dari para penguasa yang siap menjebloskannya dalam penjara karena keteguhan pendiriannya.[3]
MASA KEMUNDURAN
Disebut masa kemunduran karena masa-masa ini dunia Islam dalam proses penghancuran oleh bangsa Mongol dibawah pimpinan Jengiskan dan keturunannya serta Timur Lenk yang juga masih keturunan bangsa Mongol.
masa kemunduran ini dapat dibagi ke beberapa fase lagi, yaitu:
1.         Serangan Mongol Dan Dinasti Ilkhan
Bangsa Mongol ini berasal dari daerah pegunungan Mongolia yang membentang dari Asia tengah sampai ke Siberia utara, Tibet selatan dan Manchuria barat serta Turkistan timur. Mereka mempunyai watak yang kasar, suka berperang, pengembara dan berani menghadapi maut untuk mencapai keinginannya, dan kebringasannya dalam menentang musuh-musuhnya. Jengiskhan menganut agama Syamaniah, menyembah bintang-bintang dan sujud kepada Matahari yang sedang terbit. Raja-raja keturunannya yang masih menganut agama Syamaniyah ialah Hulagukhan sampai raja yang ke VI.Sedangkan mulai dari raja yang VII (Mahmud Ghazan) sampai raja-raja selanjutnya adalah pemeluk Islam. Dinasti Jengiskhan ini dikenal dengan dinasti Ilkhan, yaitu gelar yang diberikan kepada Hulagukhan.[4]
      Daerah-daerah yang dikuasai dinasti ini adalah daerah yang terletak antara Asia kecil di barat dan India di timur.Kedatangannya ke dunia Islam diawali dengan ditaklukkannya wilayah-wilayah kerajaan Transoxania dan Khawarizm 1219 M; kerajaan Ghazna pada tahun 1221 M, Azarbaizan pada tahun 1223 M. dan Saljuk di Asia kecil pada tahun 1243 M. Kota Bagdad sendiri dihancurkan rata dengan tanah, sebagaimana kota-kota lain yang dilalui tentara Mongolia tersebut.
Pada tahun 1258 M inilah  kota Baghdad jatuh ke tangan bangsa Mongol dan mengakhiri khilafah Abbasiyah di sana, juga merupakan awal kemuduran politik dan peradaban Islam. Karena pada masa itu Baghdad merupakan pusat kebudayaan dan merupakan kawasan yang kaya akan khsanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap dibumihanguskan oleh pasukan Mongol yang dipimpin Hulagu Khan tersebut.
 Kejatuhan Baghdad ini tidak semata-mata karena faktor ekstern, tetapi juga karena faktor intern yang telah meruntuhkan khilafah Abbasiyah di sana. Faktor intern itu antara lain adanya perpecahan yang ditandai dengan lepasnya daerah kekuasaan yang kemudian membentuk kerajaan kecil-kecil, hal tersebut berdampak pada lemahnya kekuatan ekonomi yang juga timbul karena adanya korupsi dan keinginan untuk hidup mewah dikalangan penguasa, dan faktor-faktor lainnya.
Dari Bagdad pasukan Mongolia menyebrangi sungai Eufrat menuju Syria, kemudian melintasi Sinai. Pada tahun 1260 M. mereka berhasil menduduki Nablus dan Gaza. Begitu pula daerah-daerah lain yang dilaluinya dapat ditaklukkan kecuali Mesir. Tentara Kerajaan Mamluk yang saat itu sedang berkuasa di Mesir dapat memukul mundur pasukan Mongolia dalam sebuah pertempuran di ‘Ain Jalut tanggal 13 September 1260 M.
      Demikianlah kondisi dunia arab, terutama Baghdad dan sebagian besar derah-daerah kerajan Islam lainnya dikuasai oleh bangsa Mongolia selama kurang lebih 85 tahun dibawah perintah dinasti Ilkhan, yang tentunya kehadiran mereka lebih banyak membawa kehancuran dan kemunduran dunia Islam.
Dari sekian banyak penguasa dinasti Ilkhan ada yang peduli terhadap pembangunan kembali peradaban yang telah diahncurkannya itu. Diantaranya adalah Mahmud Ghazan (683-703 /1295-1304), raja Ilkhan pertama yang beragama Islam. Dia seorang pelindung ilmu pengetahuan dan sastra. Ia amat menggemari kesenian terutama arsitektur dan ilmu pengetahuan alam, seperti astronomi, kimia, mineralogy, Metalurogi dan botani. Ia membangun semacam biara, perguruan tinggi untuk mazhab Syafi’i dan Hanafi, sebuah perpustakaan , observatorium, dan gedung-gedung umum lainnya.
Mahmud Ghazan diganti oleh Muhammad Khudabanda Uljeitu (1304-1317 M) seorang penganut syi’ah yang ekstrim. Ia mendirikan kota raja Sulthaniyah dekat Zanjan. Pada masa pemerintahan Abu Sa’id (1317-1335 M) pengganti Muhamad Khudabanda, terjadi bencana kelaparan yang sangat menyedihkan dan angin topan disertai hujan es yang mendatangkan malapetaka. Kerajaan Ilkhan sepeninggal Abu Sa’id menjadi terpecah belah. Masing-masing pecahan saling memerangi . Akhirnya mereka semua ditaklukkan oleh Timur Lenk.
2.         Serangan Dinasti Timur Lenk
Belum sempat bangkit dari kejatuhan, seabad kemudian malapetaka yang tidak kalah dahsyatnya kembali terjadi. Penyerangan kali ini yang  dipimpin oleh Timur Lenk atau Timur si Pincang ke dunia Islam tidak kurang membawa kehancuran , bahkan ia lebih kejam daripada Jengiskan atrau Hulagukhan. Berbeda dengan Jengiskan atau Hulagukhan yang masih menganut kepercayaan Syamaniah, Timur Lenk ini sudah menganut agama “Islam.”[5]
Pada tanggal 10 April 1370 M. Timur Lenk memproklamirkan diri sebagai penguasa tunggal di Tranxosiana. Ia berencana untuk menaklukkan daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh Jengiskhan. Ia berkata : “Sebagaiamana hanya ada satu Tuhan di alam ini , maka di bumi seharusnya hanya ada seorang raja.”Pada tahun 1381 M, ia menaklukkan Khurasan, terus ke Afganistan, Persia, Fars dan Kurdistan.
      Di setiap negeri yang ditaklukkannya ia mengadakan pembantaian besar-besaran terhadap siapa saja yang menghalangi rencananya, misalnya di Afganistan ia membangun menara yang disusun dari 2000 mayat yang dibalut dengan batu dan tanah liat; Di Iran ia membangun menara dari 70000 kepala manusia yang sudah dipisahkan dari badannya; Di India ia membantai lebih dari 80000 tawanan; Di Sivas, Anatolia sekitar 4000 tentara Armenia dikubur hidup-hidup.Pada tahun 1401 M. ia memasuki daerah Syria bagian utara. Tiga hari lamanya Aleppo dihancurleburkan. Kepala dari 20000 penduduk dibuat Pyramid setinggi 10 hasta dan kelilingnya 20 hasta dengan wajah mayat menghadap ke luar.
Banyak bangunan, seperti sekolah dan masjid yang berasal dari zaman Nuruddin Zanky dari Ayyubi dihancurkan. Demikian pula Damaskus dikuasainya, sehingga masjid Umayah yang bersejarah mengalami kerusakan berat. Setelah itu serangan diteruskan ke Baghdad, dan membantai 20000 penduduknya. Dari mayat-mayat tersebut ia membuat 120 menara sebagai tanda kemenangan. Timur lenk berambisi juga untuk menguasai kerajaan Usmani di Turki, karena kerajaan ini banyak menguasai daerah-daerah bekas imperium Jengiskan dan Hulagukhan.
      Pada tahun 1402 M. terjadi pertempuran yang sangat hebat di Ankara. Tentara Usmani mengalami kekalahan. Sultan Usmani (Bayazid I) sendiri tertawan dan mati dalam tawanan. Setelah itu Timur Lenk kembali ke Samarkhand. Ia berencana mengadakan invasi ke Cina, Namun di tengah perjalanan ia menderita sakit yang membawa kepada kematiannya pada usia 71 tahun. Tepatnya tahun 1404 M. dan mayatnya di bawa ke samarkhand.
      Sekalipun Timur Lenk ini terkenal sangat ganas dan kejam, tetapi Timur Lenk adalah sosok yang bisa dibilang saleh  ia sempat memperhatikan pengembangan Islam. Konon ia penganut Syi’ah yang ta’at dan menyukai tarekat Naqsyabandiyah. Dalam setiap perjalanannya ia selalu mengikutsertakan para ulama, sastrawan dan seniman. Ia sangat menghormati para ulama. Walaupun terkadang ia memaksakan suatu fatwa kepada ulama agar memperbolehkan apa yang dilakukannya.
3.         Dinasti Mamluk di Mesir
Satu-satunya penguasa Islam yang dapat memukul mundur tentara Mongolia (Hulagukhan) ialah tentara Mamluk yang saat itu sedang berkuasa di Mesir dibawah pimpinan Sulthan Baybars (1260-1277) sebagai Sulthan yang terbesar dan termasyhur serta dipandang sebagai pembangun hakiki dinasti Mamluk di Mesir.
      Dinasti Mamluk berkuasa sejak tahun 1250 M. menggantikan dinasti Al Ayyubi dan berakhir tahun 1517 M. Karena dapat menghalau tentara Hulagukhan, Mesir terhindar dari penghancuran, sebagaimana dialami di dunia Islam lain yang ditaklukkan oleh Hulagu.Dinasti Mamluk ini mengalami kemajuan diberbagai bidang. Kemenangannya terhadap tentara Mongolia menjadi modal dasar untuk mengusai daerah-daerah sekitarnya. Banyak penguasa-penguasa kecil menyatakan setia kepada dinasti ini. Dinasti ini juga dapat melumpuhkan tentara Salib di sepanjang laut tengah.[6]
      Di bidang politik atau pemerintahan, pemerintahan dinasti ini bersifat oligarki militer, kecuali dalam waktu yang singkat ketika Qalawun (1280-1290 M) menerapkan pergantian sultan secara turun temurun. Anak Qalawun berkuasa hanya empat tahun, karena kekuasaannya direbut oleh Kitbugha (1295- 1297 M). Sistem pemerintahan oligarki ini banyak mendatangkan kemajuan di Mesir. Kedudukan amir menjadi sangat penting. Para amir berkompetisi dalam prestasi, karena mereska merupakan kandidat sultan.

 KEMUNDURAN 3 KERAJAAN BESAR
  1.     SEBAB-SEBAB KEMUNDURAN KERAJAAN SAFAWI
Sepeninggal Abbas I Kerajaan Safawi berturut- turut diperintah oleh enam raja, yaitu Safi Mirza ( 1628- 1642M), Abbas II (1642- 1667M), Suliaman (1667- 1694M), Husain (1694-1722M), Tahsasp II (1722-1732M), dan Abbas III (1733- 1736M). Pada masa raja- raja tersebut, kondisi kerajaan Safawi tidak menunjukkan grafik naik dan berkembang, tetapi justru memperlihatkan kemunduran yang akhirnya membawa kepada kehancuran.[7]
Diantara sebab- sebab kemunduran dan kehancuran kerajaan Safawi ialah konflik berkepanjangan dengan Kerajaan Ustmani. Bagi Kerajaan Ustmani, berdirinya Kerajaan Safawi yang beraliran Syi’ah merupakan ancaman langsung terhadap wilayah kekuasaannya. Konflik antara dua kerajaan tersebut berlangsung lama, meskipun pernah berhenti sejenak ketika tercapai perdamaian pada masa Shah Abbas I. Namun, tak lama kemudian, Abbas meneruskan konflik tersebut, dan setelah itu dapat dikatakan tidak ada lagi perdamaian antara dua kerajaan besar Islam itu.
Penyebab lainnya adalah dekadensi moral yang melanda sebagian para pemimpin kerajaan Safawi. Ini turut mempercepat proses kehancuran kerajaan tersebut. Sulaiman, di samping pecandu berat narkotik, juga menyenangi kehidupan malam beserta harem- haremnya selama tujuh tahun tanpa sekalipun menyempatkan diri menangani pemerintahan. Begitu juga Sultan Husain.
Penyebab penting lainnya adalah karena pasukan ghulam (budak- budak) yang dibentuk oleh Abbas I tidak memiliki semangat perang yang tinggi seperti Qizilbash. Hal ini disebabkan karena pasukan tersebut tidak disiapkan secara terlatih dan tidak melalui proses pendidikan rohani seperti yang dialami oleh Qizilbash. Sementara itu, anggota Qizilbash yang baru ternyata tiadak memiliki militansi dan semangat yang sama dengan anggota Qizilbash sebelumnya.
  2.     KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN KERAJAAN MUGHAL
Setelah Aurangzeb wafat, raja-raja berikutnya mulai lemah. Kerajaan Mughal dan rajanya tidak lebih hanya sebagai symbol dan lambang belaka, bahkan raja digaji oleh colonial Inggris yang datang dan tinggal didalam Istana. Akhirnya raja terakhir Bahadur Shah memimpin pemberotakan melawan Inggris namun gagal, bahkan ia tertangkap dan disiksa secara keji, lalu dibuang ke Rangon (Myanmar) pada tahun 1862. Dengan demikian maka tamatlah riwayat Kerajaan Islam Mughal di India, setelah beraba-abad lamanya mengalami kejayaan. Peninggalannya yang paling berharga adalah bangunan Istana Taj Mahal dan Masjid yang indah. Mereka juga membantu penyebaran ajaran agama Islam di anak benua India.
Banyak faktor penyebab kemunduran dan kehancuran kerajaan Mughol antara lain adalah:
  1.      Perebutan kekuasaan antara keluarga. Hampi semua keturunan Babur umumya mempunyai watak yang keras dan ambisius. Semua berebut kekuasaan sehingga terjadi perang saudara.
  2.     Pemberontakan oleh Ummat Hindu yang pada saat itu mayoritas, sedangkan Islam merupakan minoritas karena penguasa yang terakhir memimpin melakukan pendekatan masuknya Islam lebih kepada jalur politik bukan pada jalur dakwah cultural. Sehingga membuat sebagian garis keras orang-orang Hindu tidak senang dan berontak. Sehingga pemberontakan demi pemberontakan tidak dapat dielakkan lagi.
  3.     Serangan dari pihak atau kekuatan luar. Serangan dari luar semula dilakukan oleh kerajaan Syafawi di Persia, kemudian dilanjutkan dengan serangan dari Afganishtan. Pangkal perselisihan antara Mughal dan Syafawi adalah karena rebutan daerah Kandahar.
  4.     Kelemahan ekonomi. Kemunduran politik Mughal sangat menguntungkan bangsa-bangsa barat untuk menguasai jalur perdagangan.[8]

 3.     FAKTOR KEMUNDURAN TURKI UTSMANI
Faktor-faktor keruntuhan Kerajaan Turki Usmanin dapat dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu:
·        secara internal dan eksternal, secara internal, yaitu:
-        Luasnya wilayah kekuasaan dan buruknya sistem pemerintahan yang ditangani oleh orang-orang berikutnya yang tidak cakap, hilangnya keadilan, merajalelalanya korupsi dan meningkatnya kriminalitas, merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap keruntuhan kerajaan Usmani.
-        Heterogenitas penduduk menyebabkan kurangnya rasa persatuan, terlebih Usmani merupakan kerajaan yang coraknya militer. Padahal militerisme diakui sangat sulit untuk membentuk suatu persatuan.
-        Kehidupan yang istimewa dan bermegahan. Sangat disayangkan pula bila kehidupan istana jauh dari nilai-nilai keislaman, justru sikap bermegah-megahan dan istimewa serta memboroskan uang terjadi pula di kerajaan turki Usmani.
-        Merosotnya perekonomian Negara akibat pemborosan harta dan peperangan Turki mengalami kekalahan terus menerus.
·       Secara eksternal, yaitu:
-        Timbulnya gerakan nasionalisme.
Bangsa-bangsa yang tunduk pada kerajaan Turki berkuasa, mulai menyadari kelemahan dinasti tersebut, Maka walaupun kerajaan Usmani memperlakukan mereka sebaik mungkin, namun dalam benak mereka tetap saja bila Usmani adalah penjajah yang datang menyerbu dan menguasai wilayah mereka. Dimulailah usaha untuk melepaskan diri dari pemerintahan Usmani. Di Mesir misalnya, Yenisari justru bekerjasama dengan Dinasti Mamalik dan akhirnya berhasil merebut kembali wilayah Mesir pada 1772 M hingga kedatangan Napoleon pada 1789 M. Lalu ada gerakan Wahabisme di tanah Arab yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab yang bekerjasama dengan keluarga Saud, dan akhirnya berhasil memukul mundur kekuasaan Turki dengan bantuan tentara Inggris dari jazirah Arab. Keluarga Saud sendiri memproklamirkan dirinya sebagai penguasa Arab, maka wilayah jazirah Arab selanjutnya dinamakan Saudi Arabia.
-        Terjadinya kemajuan tekhnologi Barat, khususnya dalam bidang persenjataan.
Dimana sistem kemiliteran bangsa barat selangkah lebih maju dibandingkan dengan kerajaan Turki Usmani. Oleh karena itu saat terjadi kontak senjata maupun peperangan yang terjadi belakangan, tentara Turki selalu mengalami kekalahan. Terlebih Turki Usmani sangat tidak mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan, Turki mengalami stagnasi Ilmu pengetahuan. Maka otomatis peralatan perangnya pun semakin ketinggalan jaman. Saat Turki Usmani mulai berbenah, sudah terlambat karena wilayahnya sedikit demi sedikit mulai menyusut karena melepaskan diri dan sulit untuk menyatukannya kembali.
-        Pengaruh kehidupan barat yang masuk ke istana.
Penyimpangan orientasi mereka ini membuat terlena dengan keluasan wilayah sehingga membuat mereka meninggalkan perkembangan pendidikan mereka. Berbeda dengan bangsa Eropa yang telah mengugguli mereka, kemunduran kerajaan turki utsmani ini terlihat dari bagian bagian wilayah yang dikuasai oleh turki utsmani ini mulai tergerak ingin merubah hidupnya menjadi yang lebih baik dan muncul paham kapitalisme individual sehingga sebagian mereka ingin melepaskan diri. Tampaknya pengaruh barat mulai mendapatkan hasil dengan kelemahan kerajaan turki ini, dan terlahir paham-paham yang ingin membebaskan, sehingga paham turki sendiri tidak dapat menghalangi mereka.[9]
Perang dunia pertama melengkapi proses kehancuran kerajaan Turki Usmani, pada bulan Desember 1914, Turki Usmani melibatkan diri dalam perang dunia dan berada di pihak Jerman dan Austria. Bantuan militer dan ekonomi Jerman, kekuatan terhadap kekuatan Rusia serta keinginan-keinginan untuk menyelamatkan kendali Turki Usmani menjadi alasan keterlibatan Turki dalam peristiwa tersebut. Pada tahun 1918, aliansi bangsa-bangsa Eropa mengalahkan aliansi militer Jerman, Turki dan Austria. Memasuki tahun 1920, kerajaanTurki Usmani kehilangan keseluruhan provinsi yang ada di semenanjung Baalka. Mesir kemudian menjadi Negara protektorat Inggris dan secara total bebas dari kekuasaan kerajaan Turki Usmani. Akhirnya pada 1924, Kemal Attaturk memaksa Sultan Hamid II untuk menyerahkan kekuasaan Turki Usmani setelah kemal melakukan gerakan pembaharuan melalui Turki Muda-nya, dan penyerahan kekuasaan ini menjadikan Turki Usmani telah berakhir riwayatnya dan kemudian digantikan oleh Republik Turki yang sekuler. Kehancuran Kerajaan Turki Usmani ini, membuat bangsa-bangsa Eropa semakin mudah menguasai dan menjajah wilayah-wilayah ynag dulu diduduki oleh Usmani yang mayoritas muslim. Maka sejak itulah umat islam berada dalam situasi dijajah oleh bangsa non muslim.
Sejak tahun 1920, Mustafa Kemal Pasha menjadikan Ankara sebagai pusat aktivitas politiknya. Setelah menguasai Istambul, Inggris menciptakan kevakuman politik, dengan menawan banyak pejabat negara dan menutup kantor-kantor dengan paksa sehingga bantuan kholifah dan pemerintahannya mandeg. Instabilitas terjadi di dalam negeri, sementara opini umum menyudutkan kholifah dan memihak kaum nasionalis. Situasi ini dimanfaatkan Mustafa Kemal Pasha untuk membentuk Dewan Perwakilan Nasional, dan ia menobatkan diri sebagai ketuanya. Sehingga ada 2 pemerintahan; pemerintahan khilafah di Istambul dan pemerintahan Dewan Perwakilan Nasional di Ankara.
Setelah resmi dipilih jadi ketua parlemen, Pasha mengumumkan kebijakannya, yaitu mengubah sistem khilafah dengan republik yang dipimpin seorang presiden yang dipilih lewat Pemilu. Tanggal 29 November 1923, ia dipilih parlemen sebagai presiden pertama Turki. Kemal mengeluarkan ancaman bahwa penentang sistem republik ialah pengkhianat bangsa dan ia melakukan teror untuk mempertahankan sistem pemerintahannya. Kholifah digambarkan sebagai sekutu asing yang harus dienyahkan.


[1] Dikutip Dari Buku Tarikh Tasyri : Sejarah Pembentukan Hukum Islam , Karya Dr.Yayan Sopyan , M.Ag (2010) Hal.136
[2] Dikutip dari buku karya Dedi Supriyadi, M.Ag  , SEJARAH HUKUM ISLAM, Hal.113
[3] Dikutip dari buku karya Dedi Supriyadi, M.Ag  , SEJARAH HUKUM ISLAM, Hal.116
[4] Dikutip dari buku karya Dr.Badri Yatim, M.A., SEJARAH PERADABAN ISLAM Hal.111
[5]Dikutip dari buku karya Dr.Badri Yatim, M.A., SEJARAH PERADABAN ISLAM Hal.118
[6]Dikutip dari buku karya Dr.Badri Yatim, M.A., SEJARAH PERADABAN ISLAM Hal.124
[7]Dikutip dari buku karya Dr.Badri Yatim, M.A., SEJARAH PERADABAN ISLAM Hal.156
[8]Dikutip dari buku karya Dr.Badri Yatim, M.A., SEJARAH PERADABAN ISLAM Hal.163
[9]Dikutip dari buku karya Dr.Badri Yatim, M.A., SEJARAH PERADABAN ISLAM  Hal.167

Komentar

Pustaka Ilmu

Makalah - Periode Kemunduran Islam (STAGNASI)

Makalah Tingkah laku tercela

Hadits tentang Persaudaraan Muslim

Pengertian Mudharabah, Macam-macam Mudharabah, landasan hukum dalam Mudharabah, Rukun, perkara dan hal yang membuat Mudharabahh SAH.

Makalah Filsafat Islam - Ikhwan As-Shafa'

Makalah Masailul al Fiqhiyah tentang Mengubah ciptaan Allah dalam Perspektif Islam

Tarikh Tasyri' - Kondisi Bangsa Arab sebelum ISLAM.

Contoh Meresensi Ushul Fiqih, Resensi buku Ushul Fiqih

Makalah Administrasi Pendidikan - SISTEM PENGARSIPAN