Pengertian Mudharabah, Macam-macam Mudharabah, landasan hukum dalam Mudharabah, Rukun, perkara dan hal yang membuat Mudharabahh SAH.



BAB I
PENDAHULUAN

  A.   Latar Belakang
Kehidupan manusia tidak lepas dari Mudhorobah, mudhorobah ialah memberikan potongan dari hartanya untuk diberikan kepada pengusaha agar mengusahakan harta tersebut dan pengusaha akan memberikan potongan dari laba yang diperoleh.
Dalam mudharabah berlandasan hukum kepada al-qur’an, sunnah, ijma, dan qiyas.
Pada dasarnya setiap manusia dalam aktifitasnya baik yang bersifat duniawi maupun ukhrowi tidak lepas dari pada tujuan (maqosyid) dari apa yang akan ia peroleh selepas aktifitas tersebut, dengan berbagai macam perbedaan sudut pandang manusia itu sendiri terhadap esensi dari apa yang hendak ia peroleh, maka tidak jarang dan sangat tidak menutup kemungkinan sekali proses untuk menuju pada tujuan maqosyidnya pun berwarna-warni. Salah satu contoh dalam aktifitas sosial-ekonomi, banyak dari manusia sendiri yang terjebak dalam hal ini, lebih mengedepankan pada pemenenuhan hak pribadi dan mengabaikan hak-hak orang lain baik hak itu berupa individu ataupun masyarakat umum. Akan tetapi Islam sebuah agama yang rahmatan lil-alamin mengatur seluruh tatanan kehidupan manusia, sehingga norma-norma yang diberlakukan islam dapat memberikan solusi sebuah keadilan dan kejujuran dalam hal pencapaian manusia pada tujuan daripada aktifitasnya itu, sehingga tidak akan terjadi ketimpangan sosial antara mereka. Dari situlah muncul mudharabah, apabila mudharabahnya sesuai dengan al-qur’an dan sunnah sudah terjamin halal. Karena Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Bermudharabahlah secara syari’at agar senantiasa mendapatkan keberkahan dari harta yang kita miliki.

  B.   Rumusan Masalah
Ada beberapa rumusan masalah yang akan kami paparkan, diantaranya:
1.     Apa itu Mudharabah?
2.     Ada berapa macam-macam Mudharabah?
3.     Landasan hukum apa saja yang ada dalam Mudharabah?
4.     Rukun apa saja dalam Mudharabah?
5.     Apa saja yang membuat Mudharabaha Sah?
6.     Perkara apa saja yang dapat membatalkan Mudharabah?

  C.   Tujuan Rumusan Masalah
1.     Untuk mengetahui apa itu Mudharabah?
2.     Bertujuan untuk mengetahui macam-macam Mudharabah
3.     Supaya mengetahui landasan hukum apa saja yang ada dalam Mudharabah
4.     Agar mengerti tentang rukun Mudharabah
5.     Agar lebih paham mengenai syarat sahnya Mudharabah
6.     Untuk mengetahui perkara dalam Mudharabah
  D.   Manfaat Penulisan
1.      Dapat mengetahui tentang Mudharabah
2.     Dapat berguna bagi pembaca dan pemakalah
3.     Memperluas pengetahuan tentang Mudharabah
4.     Mentransfer ilmu meskipun sedikit















BAB II
PEMABAHASAN

A.       Arti, Landasan, dan Rukun Mudharabah.
1. Arti Mudharabah.
Istilah mudharabah digunakan oleh orang Irak, sedangkan orang Hijaz menyebutnya dengan istilah qiradh. Dengan demikian mudharabah dan qiradh adalah dua istilah untuk maksud yang sama.
Menurut bahasa, qiradh diambil dari kataqaradh yang berartiqath’u(golongan), sebab pemilik memberikan potongan dari hartanya untuk diberikan kepada pengusaha agar mengusahakan harta tersebut, dan pengusaha akan memberikan potongan dari laba yang diperoleh. Biasa juga diambil dari kata muqaradhahal-mhuqaradattuyang berarti al-musawatu (kesamaan), sebab pemilik modal dan pengusaha memiliki hak yang sama terhadap laba. 

Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak di mana pemilik modal (shahibul amal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian di awal. Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi seratus persen modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola.

Mudharabah Menurut 4 Imam:

·     Imam Hanafi, mudharabah adalah Akad syirkah dalam keuntungan, satu pihak pemilik modal dan satu pihak lagi pemilik jasa.
·     Imam Maliki, mudharabah adalah Akad perwakilan, dimana pemilik harta mengeluarkan sebagian hartanya untuk dijadikan modal kepada orang lain agar modal tersebut diperdagangkan dengan pembayaran yang telah ditentukan (mas dan perak).
·     Imam  Hanafi, mudharabah adalah Pemilik harta mengeluarkan sebagian hartanya dengan ukuran tertentu kepada orang lain untuk diperdagangkan dengan bagian dari keuntungan yang telah diketahui.
·     Imam Syafi'i, mudharabah adalah Akad yang menentukan seseorang menyerahkan hartanya kepada orang lain untuk diperdagangkan.

Transaksi jenis ini tidak mewajibkan adanya wakil dari shahibul maal dalam manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak hati-hati dan bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi akibat kelalaian dan tujuan penggunaan modal untuk usaha halal. Sedangkan, shahibul maal diharapkan untuk mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba yang optimal.

2. Macam-macam Mudharabah
a.    Mudharabah Muthlaqah
adalah bentuk kerjasama antara shahib al-mal (penyedia dana) dengan mudharib (pengelola) yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Penyedia dana melimpahkan kekuasaan yang sebesar-besarnya kepada mudharib untuk mengelola dananya.
Kontrak mudharabah muthlaqah dalam perbankan syariah biasa digunakan untuk tabungan ataupun pembiayaan lain-lain. Sifat mudharabah ini tidak terikat. Rukun transaksi mudharabah diantaranya dua pihak transaktor atau pemilik modal dan pengelola, objek akad mudharabah atau modal dan usaha dan juga ijab dan kabul atau biasa disebut persetujuan perjanjian.
Contoh produk mudharabah mutlaqah adalah Tabungan Mudharabah dan Depostio Mudharabah.

b.     Mudharabah Musytarakah
Merupakan akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, sedangkan kerugian berdasarkan porsi kontribusi dana.
Contoh dari Mudharabah Msuytarakah adalah
Pak Albino ingin membuka Bisnis Rumah Makan, modal yang dimiliki Pak Albino hanya RP-20.000.000. Sedangkan modal yang dibutuhkan sebesar Rp-80.000.000.Pak Albino pergi ke Bank syariah untuk meminta bantuan pendanaan sebesar Rp-60.000.000 dengan persetujuan bagi hasilnya yaitu 60 % untuk Bank syariah dan 40 % untuk Pak Albino dalam jangka waktu 2 Tahun.
c.      Mudharabah Muqayyadah
Merupakan jenis akad dengan bentuk kerjasama antara pemilik dana serta pengelola dana, dengan kondisi pemilik dana membatasi pengelola dana untuk memilih tempat maupun transaksi dan juga objek investasinya. Dalam transaksi mudharabah muqayyadah jika diibaratkan sebagai bank syariah, maka bersifat agen yang menghubungkan antara shahibul maal serta mudharib.
Contohnya, disyaratkan untuk bisnis tertentu atau nasabah tertentu.

3. Landasan Hukum
Ulama fiqih sepakat bahwa mudharabah disyaratkan dalam Islam berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan Qiyas.
a. Al-Qur’an
Artinya: “Dan orangn-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.” (Q.S. Al-Mujammil: 20)
Artinya:”Apabila telah ditunaikan shalat, bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah.” (Q.S. Al-Jumu’ah:10)
b. Sunnah
Diantara hadits yang berkaitan dengan mudharabah  adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dari Shuhaib bahwa Nabi SAW bersabda:
Artinya: “Tiga perkara yang mengandung berkah adalah jual-beli yang ditangguhkan, melakukan qiradh (memberi modal kepada orang lain), dan yang mencampurkan gandum dengan jelas untuk keluarga, bukan untuk diperjualbellikan.” (H.R. Ibn Majah dari Shuhaib).
c. Ijma’
Diantara ijma’ dalam mudhorobah, adanya riwayat yang menyatakan bahwa jemaah dari sahabat menggunakan harta anak yatim untuk mudhorobah. Perbuatan tersebut tidak ditentang oleh sahabat lainnya.
d. Qiyas
Mudhorobah diqiyaskan kepada al-musyaqah (menyuruh seseorang untuk mengelola kebun). selain diantara manusia, ada yang miskin dan ada pula yang kaya. Di satu sisi, banyak orang kaya yang tidak dapat mengusahakan hartanya. Di sisi lain, tidak sedikit orang miskin yang mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan demikian, adanya mudhorobah ditunjukkan antara lain untuk kemaslahatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka.

4. Rukun Mudharabah
Para ulama berbeda pendapat tentang rukun mudharabah. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan qabul, yakni lafazh yang menunjukkan ijab dan qabul dengan menggunakan mudharabah, muqaridhah, muamalah, atau kata-kata yang searti dengannya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun mudharabah ada tiga, yaitu dua orang yang melakukan akad (al-aqidani), modal (ma’qud alaih), dan shighat (ijab dan qabul). ulama Syafi’iyah lebih memerinci lagi menjadi llima rukun, yaitu modal, pekerjaan, laba, shighat, dan dua orang yang akad.

  B.   Syarat-syarat Mudharabah.
Syarat-syarat sah mudharabah berkaitan dengan aqidani (dua orang yang akad), modal, dan laba.
1.       Syarat Aqidani.
Disyaratkan bagi orang yang akan melakukan akad, yakni pemilik modal dan pengusaha adalah ahli dalam mewakilkan atau menjadi wakil, sebab mudharib mengusahakan harta pemilik modal, yakni menjadi wakil. Namun demikian, tidak disyaratkan harus muslim. Mudharabah dibolehkan dengan oang kafir dzimmi atau orang kafir yang dilindungi di Negara Islam.
Adapun ulama Malikiyah memakruhkan mudharabah dengan kafir dzimmi jika mereka tidak melakukan riba dan melarangnya melakuka riba.

2.     Syarat Modal.
a.       Modal harus berupa uang, seperti dinar, dirham, atau sejenisnya, yakni  segala sesuatu yang memungkinkan dalam perkongsian (Asy-Syirkah).
b.        Modal harus diketahui dengan jelas dan memiliki ukuran.
c.       Modal harus ada, bukan berupa utang, tetapi tidak berarti harus ada di tempat akad.
d.        Modal harus diberikan kepada pengusaha.
3.    Syarat Laba.
a.                                                                    Laba Harus Memiliki Ukuran.
Mudharabah dimaksudkan untuk mendapatkan laba. Dengan demikian, jika laba tidak jelas, mudharabah batal. Namun demikian, pengusaha dibolehkan menyerahkan laba sebesar Rp 5.000,- misalnya untuk dibagi di antara keduanya, tanpa menyebutkan ukuran laba yang akan diterimanya.
b.     Laba Harus Berupa yang Umum (Masyhur).
Pembagian laba harus sesuai dengan keadaan yang berlaku secara umum, seperti kesepakatan di antara orang yang melangsungkan akad bahwa setengah laba adalah untuk  pemilik modal, sedangkan setengah lainnya lagi diberikan kepada pengusaha.

  C.   Hukum Mudharabah.
Hukum Mudharabah terbagi dua, yaitu mudharabah fasid dan mudharabah sahih.
1.       Hukum Mudharabah Fasid.
  Hasil yang diperoleh pengusaha atau pemburu diserhakan kepada pemilik harta (modal), sedangkan pemburu tidak memiliki hak sebab akadnya fasid. Tentu saja, kerugian yang ada pun ditanggung sendiri oleh pemilik modal. Namun, jika modal rusak atau hilang, yang diterima adalah ucapan pengusaha dengan sumpahnya. Pendapat ulama Syafi’iyah dan Hanabilah hampir sama dengan pendapat ulama Hanafiyah.
Berapa hal lain dalam mudharabah fasid yang mengharuskan pemilik modal memberikan upah kepada pengusaha, antara lain:
a.   Pemilik modal memberikan syarat kepada pengusaha dalam membeli, menjual, memberi, atau mengambil barang.
b.   Pemilik modal mengharuskan pengusaha untuk bermusyawarah sehingga pengusaha tidak bekerja, kecuali atas seizinnya.
c.   Pemilik modal memberikan syarat kepada pengusaha agar mencampurkan harta modal tersebut dengan harta orang lain atau barang miliknya.

2.       Hukum Mudharbah Sahih.
Hukum mudharabah sahih yang tergolong sahih cukup banyak, di antaranya berikut ini:
a. Tanggung Jawab Penguasa.
Ulama fiqh telah sepakat bahwa pengusaha bertanggung jawab atas modal yang ada di tangannya,  yakni sebagai  titipan. Hal ini karena kepemilikan modal tersebut atas seizin pemilikannya.
Apabila pengusaha beruntung, ia memiliki hak atas laba secara bersama-sama dengan pemilik modal.
Jika mudharabah rusak karena adanya beberapa sebab yang menjadikannya rusak, pengusaha menjadi pedagang sehingga ia pun memiliki hak mendapatkan upah.
Jika harta rusak tanpa disengaja, ia tidak bertanggung jawab atas rusaknya modal tersebut. Jika mengalami kerugian pun, ditanggung oleh pengusaha saja.
Jika disyaratkan bahwa pengusaha harus bertanggung jawab atas rusaknya modal, menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah, syarat tersebut batal, tetapi akadnya sah. Dengan demikian, pengusaha bertanggung jawab atas modal dan berhak atas laba. Adapun ulama Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa mudharabah batal.

b. Tasharruf  Pengusaha.
Hukum tentang tasharruf pengusaha berbeda-beda bergantung pada mudharabah mutlak atau terikat.
1.       Pada mudharabah mutlak.
Menurut ulama Hanafiyah, jika mudharabah mutlak, maka pengusaha berhak untuk beraktivitas dengan modal tersebut yang menjurus kepada pendapatan laba, seperti jual beli. Begitu pula pengusaha dibolehkan untuk membawa modal tersebut dalam suatu perjalanan dengan maksud untuk mengusahakan harta tersebut.
Beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pengusaha adalah:
a.   Pengusaha hanya boleh mengusahakan modal setelah ada izin yang jelas dari pemiliknya.
b.   Menurut ulama Malikiyah, pengusaha tidak boleh membeli barang dagangan yang melebihi modal yang diberikan kepadanya.
c.   Pengusaha tidak membelanjakan modal selain untuk mudharabah, juga tidak boleh mencampurkannya dengan harta miliknya atau harta milik orang lain.
Dalam mudharabah mutlak, menurut ulama Hanafiyah, pengusaha dibolehkan menyerahkan modal tersebut kepasa pengusaha lainnya atas seizin pemilik modal.
Menurut ulama selain Hanafiyah, pengusaha bertanggung jawab atas modal jika ia memberikan modal kepada orang lain tanpa seizinnya, tetapi laba dibagi atas pengusaha kedua dan pemilik modal. Pengusaha pertama tidak berhak mendapatkan laba sebab laba diberikan kepada mereka yang berusaha secara sempurna.
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa modal tidak boleh diberikan kepada pengusaha lain, meskipun atas seizin pemilik modal.
2.    Pada mudharabah terikat.
Secara umum, hukum yang terdapat dalam mudharabah terikat sama dengan ketetapan yang ada pada mudharabah mutlak. Namun, ada beberapa pengecualian, antara lain sebagai berikut ini:
a. Penentuan tempat.
b. Penentuan orang.
c. Penentuan waktu.
3. Hak-hak pengusaha (al-mudharib).
Pengusaha memiliki dua hak atas harta mudhaarabah, yaitu hak nafkah (menggunakan untuk keperluannya) dan hak laba, yang telah ditentukan dalam akad.
a. Hak nafkah (membelanjakan).
Para ulama berbeda pendapat dalam hak nafkah modal atau harta mudharabah. Secara umum, pendapa mereka dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:
1. Imam Syaf’i, berpendapat bahwa pengusaha tidak boleh menafkahkan modal untuk dirinya, kecuali atas seizin pemilik modal sebab pengusaha akan memiliki keuntungan dari laba.
2. Jumhuur Ulama, diantaranya Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Zaidiyah berpendapat bahwa pengusaha berhak menafkahkan harta mudhrabah dalam perjalanan untuk keperluannya, seperti pakaian, makanan, dan lain-lain.
3. Untuk Hanabilah membolehkan pengusaha untuk menafkahkan harta untuk keperluannya, perjalanan jika disyaratkan pada waktu akad. Di antara alasan para ulama membolehkan pengusaha untuk membelanjakan modal mudharabah untuk keperluan antara lain, jika modal boleh dinafkahkan, dikhawatirkan manusia tidak mau mudharabah sebab kebutuhan mereka cukup banyak ketika mudharabah.
Belanja yang dibolehkan sebagaimana pendapat ulama Hanafiyah, adalah kebutuhan sehari-hari, seperti makan, minum, pakaian dan lain-lain, dengan syarat tidak boleh berlebih-lebihan. Belanja tersebut dikurangkan dari laba, jika sudah ada laba, jika tidak ada laba, diambil dari modal.
b. Hak mendapatkan laba.
Pengusaha berhak mendapatkan bagian dari sisa laba sesuai dengan ketetapan dalam akad, jika usahannya mendapatkan  laba. Jika tidak, ia tidak mendapatkan apa-apa sebab ia bekerja untuk dirinya sendiri. Dalam pembagian laba, disyaratkan setelah modal diambil.

4. Hak pemilik modal.
Hak bagi pemilik modal adalah menambil bagian laba jika menghasilkan laba. Jika tidak ada laba, pengusaha idak mendapatkan apa-apa.

  D.   Perkara yang membatalkan Mudhorobah
Mudhorobah dianggap batal pada hal berikut:
1.       Pembatalan, larangan berusaha,dan pemecatan
Mudhorobah menjadi batal dengan adanya pembatalan mudhorobah, larangan untuk mengusahakan, dan pemecatan. Yakni orang yang melakukan akad mengetahui pembatalan dan pemecatan tersebut, serta modal telah diserahkan ketika pembatalan atau larangan.
2.       Salah seorang aqid meninggal dunia
Jumhur ulama berpendapat bahwa mudharaba batal, jika salah seorang aqid meninggal dunia, baik pemilik modal maupun pengusaha.
3.       Salah seorang aqid gila
Jumhur ulama berpendapat bahwa gila membatalkan mudharabah, sebab gila atau sejenisnya membatalkan keahlian dalam mudharabah.
4.       Pemilik modal murtad
Apabila pemilik modal murtad atau terbunuh dalam keadaan murtad, atau bergabung dengan musuh serta telah diputuskan oleh hakim atas pembelotannya, hal itu membatalkan mudharabah sebab bergabung dengan musuh sama saja dengan mati.
5.       Perbedaan dalam ukuran laba
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa ucapan yang diterima adalah pernyataan pemilik modal, jika pengusaha mengakui bahwa disyaratkan baginya setengah laba, sedangkan menurut pemilik adalah sepertiganya.
6.       Perbedaan dalam sifat modal
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa bila ada perbedaan dalam sifat modal, ucapan yang diterima adalah pernyataan pemilik harta. Sedangkan pengusaha menyatakan bahwa harta itu diberikan secara cuma-cuma sebab yang membayarkan adalah pemiliknya.






Komentar

Pustaka Ilmu

Makalah Periode Kemunduran Islam

Makalah - Periode Kemunduran Islam (STAGNASI)

Makalah Tingkah laku tercela

Hadits tentang Persaudaraan Muslim

Makalah Filsafat Islam - Ikhwan As-Shafa'

Makalah Masailul al Fiqhiyah tentang Mengubah ciptaan Allah dalam Perspektif Islam

Tarikh Tasyri' - Kondisi Bangsa Arab sebelum ISLAM.

Contoh Meresensi Ushul Fiqih, Resensi buku Ushul Fiqih

Makalah Administrasi Pendidikan - SISTEM PENGARSIPAN