Tarikh Tasyri' - Kondisi Bangsa Arab sebelum ISLAM.
KONDISI
BANGSA ARAB SEBELUM ISLAM
A. Kehidupan Sosial Bangsa Arab Sebelum Islam
Secara geografis, negara Arab
digambarkan seperti empat persegi panjang (bujur sangkar) yang berakhir di Asia
Selatan. Negara Arab dikelilingi berbagai negara, sebelah utara oleh Syria,
sebelah timur oleh Nejd, sebelah selatan oleh Yaman, dan sebelah barat oleh
Laut Erit. Luas semenanjung Aarab adalah yang paling besar di dunia kira-kira 1.027.000 m2mil.2
Bangsa Arab kuno terbagi menjadi dua,
yaitu orang-orang kota (ahl al-hadarah/town people) dan orang-orang padang
pasir (ahl al-badiyah/the desert dwellers). Mereka juga berpegang berpegang
pada aturan kabilah atau suku dalam kehidupan sosial. Penduduk Arab kota
(madani) adalah orang-orang yang
melakukan perdagangan dan sibuk dengan bepergian dan mereka juga berpegang
teguh pada aturan kabilah atau suku.
Karakteristik orang Arab adalah bangga
dan sensitif. Bangga karena bangsa Arab memiliki sastra yang terkenal, kejayaan
sejarah Arab dan mahkota bumi pada masa klasik dan bahasa Arab sebagai bahasa
ibu yang terbaik diantara bahasa-bahasa lain di dunia. Sifat bangsa Arab pra-Islam adalah:
1.
Secara fisik, lebih sempurna dibandingkan dengan orang Eropa.
2.
Kurang bagus dalam pengorganisasian kekuatan dan lemah dalam
penyatuan aksi.
3.
Faktor keturunan, kearifan, dan keberanian lebih kuat dan
berpengaruh.
4.
Mempunyai struktur kesukuan yang diatur oleh kepala suku.
5.
Tidak memiliki hukum yang reguler, kekuatan pribadi dan
pendapat suku lebih kuat dan diperhatikan.
6.
Posisi wanita tidak lebih baik daripada binatang.
Dalam
bidang hukum, Mushthafa Sai’id Al-Khinn menyebutkan bahwa orang Arab pra-Islam
menjadikan adat sebagai hukum dengan berbagai bentuknya. Mereka mengenal
beberapa macam perkawinan diantaranya: Istibdha,
poliandri, maqthu’, badal, dan
shighar.
-
Istibdha ialah seorang suami meminta kepada istrinya untuk
berjimak dengan laki-laki yang dipandang mulia atau memiliki kelebihan
tertentu, seperti keberanian dan kecerdasan.
-
Poliandri ialah beberapa laki-laki berjimak dengan seorang
perempuan. Setelah hamil dan melahirkan anak, perempuan tersebut memanggil
semua laki-laki yang pernah menyetubuhinya untuk berkumpul di rumahnya.
-
Maqathu’ ialah seorang laki-laki menikahi ibu tirinya
setelah bapaknya meniggal dunia.
-
Badal ialah tukar-menukar istri tanpa bercerai terlebih
dahulu dengan tujuan memuaskan hubungan seks dan terhindar dari rasa bosan.
-
Shighar ialah seorang wali menikahkan anak atau saudara
dengan tujuan kepada seorang laki-laki tanpa mahar.
Abdur Rahim menjelaskan beberapa
perkawinan lain yang terjadi pada bangsa
Arab pra-Islam, sebagai berikut:
1.
Bentuk perkawinan yang diberi sanksi oleh Islam, yakni
seseorang meminta kepada orang lain untuk menikahi saudara perempuan atau budak
dengan bayaran tertentu (mirip dengan kawin kontrak).
2.
Prostitusi sudah dikenal. Biasanya dilakukan kepada para
pendatang di tenda-tenda dengan cara mengibarkan bendera sebagai tanda
memanggil. Jika wanitanya hamil, ia akan memilih diantara laki-laki yang
mengencaninnya sebagai bapak dari anaknya yang dikandung.
3.
Mut’ah adalah praktik yang umum dilakukan oleh bangsa Arab
sebelum Islam.
Anderson
menguraikan bahwa negara Arab pra-Islam sebagaimana orang Baduy di Arab
sekarang, terorganisasikan berdasarkan kesukuan dan bersifatpatirkhal. Kondisi
Arab pra-Islam cenderug primitif, arab cenderung “barbarism” bukan “jahiliyah”.
Jahiliyah adalah orang yang menyembah berhala, memakan mayat binatang,
melakukan amoral, meninggalkan keluarga, dan melanggar perjanjian perkawinan
dengan sistem mencari keuntungan yang dilakukan kepada orang yang lemah.[1]
A.
Kondisi
Sosio-Kultural Bangsa Arab
1. Aspek
kebangsaan
Jazirah Arab merupakan tempat munculnya rumpun
bangsa Semit. Semit dinyatakan bangsa tertua dan kebanyakan keturunan Arab yang
masih hidup juga berasal dari bangsa ini. Semit terdiri dari berbagai suku bangsa,
yakni Arab A’robah, Arab Musta’robah dan Arab Bai’dah. Ketiga suku bangsa Arab
tersebut adalah keturunan Nabi Ibrahim dari garis keturunan Nabi Ismail.
Disamping bangsa Arab yang bersuku-suku dan
berkabilah-kabilah, ada bangsa lain yang tinggal di semenanjung Arab, khususnya
di Madinah atau Yastrib adalah Suku Hadraz dan suku Aus. Ada juga bangsa Yahudi
dari berbagai sekte, yakni: Quraidh, qunaiqah Bani Nadhir, Yahudi Khaibar,
Yayma, dan Fadak. Bangsa Yahudi masuk ke jazirah Arab diperkirakan tahun 70 M.
Mereka pindah besar-besaran dari Palestina karena melarikan diri dan takut atas
ancaman dan siksaan Titus, kaisar Romawi yang berkuasa pada waktu itu.
Suku-suku Yahudi tersebut nantinya akan hengkang dari Madinah karena melanggar
kesepakatan perdamaina yang tertuang dalam piagam Madinah yang dibuat ketika
kota Madinah berdiri. Salah satu pelanggaran mereka adalah membantu musuh Nabi
dalam beberapa peperangan. Dari pelanggaran ini mereka harus hengkang dari kota
Madinah.
2. Kondisi
Internasional
Menjelang kedatangan Islam situasi dunia
Internasional diwarnai persaingan antara berbagai kerajaan. Di wilayah Eropa
bagian barat kerajaan Roma berada dalam posisi lemah. Kerajaan ini pernah
menguasai Asia kecil, Siria, Mesir, Eropa Tenggara, Danube, smpai ke beberapa
pulau di Laut Tengah. Saingan terberatnya ialah Kerajaan Persia di bagian
Timur, menguasai daerah Irak yang membujur ke Afghanistan dan Sungai Oxus.
India yang berada di wilayah Asia bagian selatan
berada di bawah kekuasan Raja Harysa (606-647) penguasa terakhir kerajan Hindu
di India bagian utara, yang tidak dapat lagi mempertahankan kekuasaannya.
Sementara kekuasaan Cina saat itu dalam kondisi stabil, sejak dinasti Sui
melakukan konsolidasi kekuasaan, kemudian diteruskan oleh dinasti Tang, perkembangan
ekonomi dan budaya Cina mengalami kemajuan. Pada tahun 527 Yutinus kembali
memperoleh kekuatan dan kepercayaan rakyat untuk mengambil alih konstatinopel,
ibu kota Bizantium. Ia berhasil mempersatukan pusat-pusat kekuatan kerajaan,
lalu merebut kembali kota-kota penting yang pernah hilang dari pengakuan
kerajaan Bizatium.
Namun, sepeningga Yutinus, seorang putra gubernur
Afrika Utara yang bernama Heraklitus mengambil alih kerajaan Bizantium dari
Phocas. Ia berkuasa dari tahun 610-614 M. Pada tahun 619 M, Persia hendak
merebut Mesir setelah pada tahun 614 merebut Jerussalem dan berhasil membawa
Salib suci. Setelah itu, umat Kristen marah dan bersatu untuk menghancurkan
Persia. Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh Heraklitus untuk melancarkan
serangan invansi ke Irak, dan pada tahun 627 M Persia diserang habis-habisan
pada masa Syah Kusro II. Dua tahun berikutnya iperialisme raksasa ini
berangsur-angsur lemah dan runtuh,
berada di bawah kekuasaan Islam.[1]
3. Aspek
Geografis
Sebagian besar tanah Arab (Jazirah Arab) merupakan
semenanjung terbesar dalam peta dunia. Luas wilayahnya sekitar 1.745.900 km2.
Dikatakan semenanjung karena tiga sisi dari wilayah Arab saja yang
dibatasi oleh laut. Di sebelah barat dibatasi oleh Laut Merah, disebelah
selatan dibatasi Lautan Hindia, disebelah timur dibatasi dengan Teluk Arab dan
sebelah utara dibatasi oleh Gurun Irak dan Gurun Syam (gurun Syria) panjangnya
1.000 km lebih dan lebarnya kira-kira 1.000 km
Jazirah
Arab terdiri dari dua bagian, bagian tengah dan bagian tepi.bagian tengah
terdiri dari tanah pegunungan yang jarang terkena siraman air hujan.
Penduduknya sangat sedikit yaitu kaum pengembara yang selalu berpindah-pindah
tempat mengikuti turunnya hujan dan mencari padang yang ditumbuhi rumput untuk
tempat mengembala ternak mereka. Penduduk ini sering disebut orang Badui.
Dibagian
tengahnya juga dibagi dua yaitu bagian utara yang disebut Najed dan bagian
Selatan yang disebut al-Ahqaf . bagian selatan penduduknya sangat sedikit. Oleh
orang Arab sendiri dijuluki sebagai al-Rabul halli (tempat yang sunyi),
sedangkan bagian tepi merupakan sebuah pita kecil yang melingkari jazirah Arab
dan dipertemuan Laut Merah dan Laut Hindia pita itu agak lebar.
Kebanyakan wilayah Arab merupakan daerah gurun
pasir, perbukitan yang berbatu-batu, sedikit savana yang ditumbuhi rerumputan
yang berduri tajam. Hanya sedikit sekali yang daerah yang subur, yakni daerah
yang memiliki oasis (sumber mata air) yang digunakan untuk minum, memasak,
mandi, dan menyirami tanaman. Oasis banyak terdapat di daerah selatan dan utara
(daerah Taif dan Madinah), kedua tempat itu terkenal sebagai lumbung makanan.
Dalam hal ini, bila dilihat dari bentuk geografis
jazirah Arab, masuk akal jika al-Qur’an melukiskan surga dengan sungai-sungai
mengalir, banyak pepohonan dan buah-buahan, serta berudara sejuk, sehingga
nyaman untuk dihuni, tidak seperti kondisi wilayah Arab pada waktu itu.
Gambaran seperti itu, tentu saja menarik perhatian bangsa Arab.[2]
4. Aspek
Ekonomi
Dari aspek mata pencaharian, kebanyakan bangsa Arab
yang tinggal di semenanjung Arabia mempunyai mata pencaharian sebagai pedagang.
Oleh karena itu, sangatlah wajar jika orang Arab pandai berdagang, baik di bumi
Arab maupun di rantau orang. Kepandaian berdagang bangsa Arab termasyhur, bukan
hanya di Asia belahan barat dan tengah, melainkan ke Asia Tenggara, bahkan ke
Asia Timur seperti Cina.
Pada masa itu juga sudah terjadi hukum pasar liberal
dimana orang yang modalnya sedikit akan selalu ketinggalan oleh pemodal besar.
Pemodal besar akan selalu menang dan
menjadi gurita raksasa, ia akan menjadi tuan bagi orang miskin yang tidak
melunasi hutangnya. Para komlomerat ini senang sekali mengumpulkan harta
sebanyak-banyaknya, dan mengira harta itu akan mengekalkan dirinya dan mereka
mengabaikan fakir miskin dan anak yatim, hingga hal ini dikritik pedas oleh
Q.S. Al-Humazah: 1-3.
“Celakalah
orang yang sukan menimbun harta dan menghitung-hitung ia menyangka bahwa
hartanya itu akan membuatnya kekal....” (Q.S. Al-Humazah: 1-3) Sebagian
orang Arab adalah peternak. Disektor peternakan ini didominasi oleh suku Badui
yang hidupnya masih nomaden, hasil dari peternakan itu adalah daging, terutama
daging unta dan kambing, susu dan wol, ada juga peternakan alat transportasi
seperti unta, kuda, dan keledai.
Hijaz banyak ditumbuhi pohon kurma, sedangkan gandum
banyak di daerah Yaman, di oasis-oasis tertentu. Padi tumbuh di daerah Omah dan
Hasa, sementara tanaman yang dibudidayakan, seperti anggur dapata ditemui di
daerah Taif dan menghasilkan minuman yang bernama nabidz al-zabib. Dan tanaman
yang menjadi primadona Arab adalah kurma, yang juga merupakan makanan utama
orang-orang Badui, sehingga memiliki dua benda hitam (air dan kurma) merupakan
dua impian setiap orang Arab Badui.[3]
5. Aspek
strategi dan politik
Ada beberapa hal yang dianggap strategis bagi bangsa
Arab yang sedikit banyak berpengaruh terhadap cepatnya masyarakat Arab dan
sekitarnya menerima Islam sebagai agama dan kekuasaan baru, diantaranya adalah:
a.
Kota
Makkah merupakan daerah yang strategis, sehingga ia menjadi jalur transit
perdagangan dari teluk Arab ke Arab selatan, Byzatium, Syria, Yaman, dan
Sasnian di Iraq. Bahkan sebelum ditemukan tanjung harapan dan terusan Suez, jalur Arab ini merupakan
jalur yang potensial untuk distribusi bahan-bahan pokok ke Eropa, sehingga
dalam al-Qur’an dijabarkan dengan jelas bahwa orang Arab pada waktu itu
memiliki dua jalur perdagangan yakni: jalur syita’ (musim dingin) dan jalur
syoif (musim panas). Pada musim panas orang Arab pergi ke Syam dan pada musim
dingin pergi ke Yaman.
b.
Kota
Makkah adalah kota ibadah dimana anak keturunan Ibrahim khususnya dari
keturunan Ismail melaksanakan ritual keagamaan seperti thawaf, sya’i, melempar
jumarat disektar ka’bah. Orang Arab jahiliyah mempunyai agenda tahunan setiap
bulan Dzulhijah dengan mengelilingi Ka’bah (melakukan thawaf). Diantara mereka
ada yang melakukan thawaf sesuai dengan ajaran Ibrahim dan ada juga yang sudah
menyimpang dari ajaran Ibrahim yakni thawaf dengan cara telanjang dan ada juga
setengah telanjang. Mereka juga melaksanakan Qurban, darahnya dipersembahkan
kepada Tuhan.
c.
Adanya
Ka’bah sebagai pusat daya tarik kota Makkah, sehingga ada niat jahat dari raja
Yaman yang bernama Abrahah dari negeri Yaman bermaksud untuk memindahkan Ka’bah
ke Yaman supaya Yaman jadi tujuan wisata dunia, seperti Makkah. Kemudain
Abrahah mengirim ribuan pasukan untuk merebut kota Makkah, pasukan intinya
adalah pasukan gajah. Maksud dari pasukan gajah ini adalah sebagai alat untuk
membawa Ka’bah dari Makkah ke Yaman.
d.
Pada
masa sebelum mubuwwah, dunia dikuasai oleh dua super power yakni kerajaan
Persia dan kerajaan Romawi yang masing-masing negara menanamkan pengaruhnya
pada negara lain. Dan kedua kekuasaan selalu bentrok senjata dalam
memperebutkan kekuasaannya. Pada jaman Nabi, Persia lebih kuat dibanding
Romawi, di beberapa peperangan Romawi banyak kalah, bahkan digambarkan dalam
al-Qur’an awal sura ar-Rum, bahwa Romawi sebelumnya kalah, tapi setelah itu
akan menang.
Jazirah
Arab, meskipun tidak luput dari pengaruh kekuasaan dua super power itu, yakni
pernah dibawah pengaruh bangsa Romawi, tetapi tidak sampai dikuasai (dijajah).
Salah satu sebabnya adalah karena jazirah Arab tidak kondusif dan strategis
untuk dijadikan daerah jajahan (kekuasaan) dengan alasan:
1.
Tanahnya
tandus, sehingga tidak menghasilkan apa-apa
2.
Masyarakatnya
nomaden, sehingga menyulitkan dalam mengatur
3.
Kehidupan
di padang pasir memerlukan perasaan kesukuan, karena sukuisme itulah yang
melindungi keluarga dan warga suku. Kabilah atau suku itulah yang berkewajiban
melindungi warganya, dan melindungi orang-orang yang menggabungkan diri atau
meminta perlindungan kepadanya.
4.
Karakter
dari kabilah bangsa Arab yang senang berperang
5.
Orang
Arab itu merupakan penduduk pemberani
6.
Walaupun
masyarakat Arab adalah para pedagang,
tetapi yang menguasai perdagangan itu hanyalah para konglomerat.
7.
Menguasai
jazirah Arab merupakan langkah yang tidak strategis karena ongkos yang
dikeluarkan untuk operasional penguasaan wilayah akan lebih besar dibanding
dengn hasil yang di dapat.[4]
6. Aspek
Keagamaan
Dari aspek agama, jazirah Arab merupakan wilayah
yang menarik karena pusat dari agama samawi yang dibawa Ibrahim. Dari jalur
Nabi Ishaq berkembang dua agama besar, yakni: Yahudi dan Nasrani. Sedangkan
dari jalur Nabi Ismail lahirlah agama Islam. Bahkan, sebelum Islamlahir ada
agama yang dipegang teguh oleh suku Quraish, khususnya yang disebut dengan
agama “hanif” yang mentauhidkan Allah.
Agama lain yang berkembang di jazirah Arab pada
waktu itu ialah Yahudi (khususnya di Madinah) akan tetapi pengaruhnya sampai
juga ke Makkah. Ada pula agama penyembah berhala (paganisme), merupakan agama
yang diimpor dari Asia Tengah (sebagian besar sekitar daerah Jerusalem). Dari
perkembangan agama inilah, patung-patung didatangkan oleh para saudagar kaya
dan berpengaruh dari Jerusalem ke Makkah dan diletakkan di sekitar (sekeliling)
Ka’bah. Namun, orang Arab menyembah berhala ini
adalah sebagai perantara kepada Tuhan. Pada hakekatnya, bukan berhala
yang mereka sembah, tetapi wujud Tuhan yang menjelma di dalamnya. Selain
menyembah berhala, mereka juga menyembah pohon besar, binatang, bintang, dan
jin sebagai penyerta (syarik) Allah. Pada umumnya mereka tidak percaya akan adanya
hari kiamat dan tidak percaya pula tentang adanya hari kebangkitan setelah
mati. [5]
B.
Aspek
Penegakan Hukum dan Pengadilan
Bangsa Arab jahiliyah
pada waktu itu sudah mengenal bentuk-bentuk lembaga peradilan untuk
menyelesaikan segala sengketa mereka, hanya saja mereka belum memiliki
undang-undang tertulis yang dapat dijadikan pegangan para qadhi. Cara
memutuskan hukum yang menyesuaikandengan adat kebiasaan mereka secara
turun-temurun, dari pendapat kepala suku, atau orang-orang yang mereka pandang
arif yang dikenal sebagai orang-orang yang bijak pendapatnya, dan menyita
hak-hak dengan firasat dan tanda-tanda. Orang itu dalam budaya Arab disebut
kahiin.
Mereka
menyebut qadha sebagai hukuma, sedangkan qadhi mereka sebut hakam. Setiap
kabilah mempunyai hakam tersendiri, sedangkan hukumah (lembaga peradilan) tidak
ada yang berdiri sendiri kecuali bagi bangsa Quraish. Mereka bersidang di
sembarang tempat, di bawah pohon rindang, kemah-kemah, atau bagi orang Makkah
ada suatu bangunan yang disebut dengan Darun Nadwah yang dibangun oleh Qushoy
bin Ka’ab. Bangunan itu pintunya menghadap Ka’bah, pada awal permulaan Islam
gedung itu menjadi tempat tinggal para Khalifah dan amir-amir di waktu musim
haji.
Kita
juga mengenal adanya suatu institusi hakam (badan arbitrase) sebagai lembaga
peradilan. Di mana ketika dua orang atau kelompok berselisih, masing-masing
kelompok atau orang itu memilih juru damainya untuk berunding. Dan kesepakatan
dua juru damai tersebut adalah mengikat bagi kedua belah pihak. Pelaksanaan hakam
ini pernah dilakukan oleh Muhammad, ketika Muhammad berusia 34 tahun (sebelum
ia diangkat sebagai Rasul).
Muhammad
diangkat menjadi hakam dalam peristiwa jatuhnya Hajar Aswad dari tempatnya
akibat datangnya banjir besar yang menggenang Ka’bah. Dalam peristiwa itu
hampir terjadi perselisihan yang dapat menyulut peperangan antara empat kabilah
besar karena masing-masing kabilah merasa paling berhak untuk meletakkan hajar
aswad pada tempatnya semula. Ke empat kabilah itu setuju untuk mengangkat
Muhammad sebagai hakam. Akhirnya, dengan kecerdikan dan kearifan Muhammad
disepakatilah bahw yang berhak meletakkan hajar aswad adalah orang yang pertama
masuk Masjid, dan Muhammadlah orangnya.
Tapi
Muhammad sangat arif dan bijaksana, ia perintahkan masing-masing kepala kabilah
untuk memegang ujung sorban dan ia letakkan hajar aswad itu pada tempatnya
semula tanpa adnya persengketaan, karena masing-masing dari kabilah itu merasa
punya adil besar. Oleh karenanya Muhammad dijuluki dengan “al-Amin”.[6]
[1] Yayan Sopyan, Tarikh Sejarah Pembentukan Hukum Islam (Depok: Gramata
Publishing, 2010), hal. 22-23
[2] Yayan Sopyan, Tarikh Sejarah Pembentukan Hukum Islam (Depok: Gramata
Publishing, 2010), hal. 23-25
[3] Yayan Sopyan, Tarikh Sejarah
Pembentukan Hukum Islam (Depok: Gramata Publishing, 2010), hal. 25-26
[4] Yayan Sopyan, Tarikh Sejarah Pembentukan
Hukum Islam (Depok: Gramata Publishing, 2010), hal. 26-30
[5] Yayan Sopyan, Tarikh Sejarah
Pembentukan Hukum Islam (Depok: Gramata Publishing, 2010), hal. 30-32
[6] Yayan Sopyan, Tarikh Sejarah Pembentukan Hukum Islam (Depok: Gramata
Publishing, 2010), hal. 44-45
[1] Dedi Suryadi, Sejarah Hukum Islam
(Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal. 43-48
Komentar
Posting Komentar