Jenis-jenis METODE TAFSIR


     
                                                                                                                   Jenis-Jenis Metode Tafsir

Terkait dengan metode penafsiran Alquran, ada beberapa jenis metode yang biasa digunakan ulama tafsir. Penafsiran yang lazim digunakan itu ada yang bersifat meluas-melebar dan global, ada juga yang menafsirkannya melalui studi perbandingan (komparasi). Bahkan, ada pula menggunakan metode penafsiran Alquran sistematis. Sebagian ahli ilmu tafsir, Abd al-Hayy al-Famawi menyebutkan empat jenis metode (manhaj atau minhaj) penafsiran Alquran: al-manhaj at-tahlili, al-manhaj al-ijmali, al-manhaj al-muqaran, danal-manhaj al-maudhu’i.[1]

1.     Tafsir at-Tahlili (Metode Analitis)
a.      Pengertian Tafsir at-Tahlili
Menurut bahasa, at-tahlili berasal dari kata hallala-yuhallilu-tahlilan yang artinya melepas, mengurai, keluar, atau menganalisis. Sementara itu menurut istilah, tafsir at-tahlili ialah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang bersinggungan dengan ayat serta menerangkan makna yang tercangkup sesuai dengan keahlian mufasir. [2]Yang dimaksud dengan metode analitis adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dari segala segi dan maknanya, ayat demi ayat, surah demi surah, sesuai dengan urutan dalam mushaf.
     Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung kosakata ayat berdasarkan arti yang dikehendaki, konotasi kalimatnya, latar belakang turunnya ayat, kaitannya dengan ayat-ayat lain, baik sebelum maupun sesudahnya dan tak ketinggalan pendapat yang berkenaan dengan tafsiran ayat tersebut baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, para tabi’in maupun ahli tafsir lainnya.[3]
Metode at-tahlili biasa disebut metode tajzi’i ini termasuk metode tafsir tertua seusianya. Metode at-tahlili, menurut Quraish Shihab, lahir jauh sebelum metode tafsir maudhu’i. Metode ini sudah dikenal sejak  ahli tafsir al-Farra (w. 206 H/821M) menerbitkan kitab tafsirnya itu atau sejak Ibn Majah (w. 237 H/922 M), atau selambat-lambatnya sejak masa ath-Thabari (w. 310 H/922 M).[4]
      Tafsir at-tahlili memiliki kelebihan yang sangat khas dibandingkan tafsir yang menggunakan metode lainnya. Kelebihan tafsir at-tahlili antara lain: keluasan dan keutuhannya dalam memahami al-Qur’an. Melalui metode tahlili, seseorang diajak-serta untuk memahami al-Qur’an dari awal (surah al-Fatihah) hingga akhir (Surah an-Nas), atau ia diajak-serta untuk memahami ayat dan surah dalam al-Qur’an secara utuh dan menyeluruh.
      Sebagai sebuah metode yang bersifat nisbi karena hasil-karya manusia, metode tafsir at-tahlili tidak bisa terlepas dari kelemahan, antara lain: kajian metode tafsir at-tahlili kurang mendalam, tidak detil, dan tidak tuntas dalam pembahasan dan enyelesaian topik-topik yang dibicarakan. [5]

b.     Ciri-Ciri Tafsir At-Tahlili (Metode Analitis)
Berikut ini ciri-ciri yang melekat pada metode analitis.
1)     Ayat-ayat ditafsirkan sesuai dengan urutan yang terdapat dalam mushaf.
2)     Penjelasannya sedikit demi sedikit karena segala segi diteliti, seperti kasa-kata, munasabah (hubungan), tata bahasa, atau asbaba an-nuzul.
3)     Menggunakan alat bantu yang efektif berupa disiplin ilmu yang menjadi keahlian mufasir.
4)     Menekankan pengertian filologi sebagai acuan awal.
5)     Ayat atau hadis lain yang memiliki kosakata yang sama digunakan sebagai batu loncatan.
6)     Mengamati konteks nash untuk menemukan pemahaman ayat.[6]
7)     Titik beratnya adalah lafazhnya

c.      Karya-Karya Yang Menggunakan Tafsir At-Tahlili
1)     Berbentuk tafsir bi Al-Ma’tsur
Tafsir at-tahlili yang berbentuk tafsir bi al-ma’tsur lazim digunakan ulama klasik. Mereka mengutip tafsir sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in. salah satu tafsir termasyhur yang menggunakan metode ini, yaitu Tafsir Ath-Thabari karya Ibn Jarir Ath-Thabari (w. 310 H). tafsir-tafsir lainnya yang menggunakan metode serupa antara lain Ma’alim At-Tanzil Karya Al-Baghawi (w. 516 H), Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir (w. 774 H), dan Ad-Durr Al-Mantsur Fi At-Tafsir Bi Al-‘Matsur karya As-Suyuthi (w. 911 H).
2)     Berbentuk Tafsir bi Ar-Ra’yi
Tafsir yang menggunakan metode at-tahlili dengan menekankan pada tafsir bi ar-ra’yi sebenarnya banyak, antara lain Tafsir Al-Khazin karya Al-khazin (w. 741 H), Anwar At-Tnzil wa Asrar At-Ta’wil karya Al-Baidhawi (w. 691 H), Al-Kasysyaf karya Az-Zamakhsyari (w. 538 H), ‘Arais Al-Bayan fi Haqa’iq Al-Qur’an karya Asy-Syairazi (w. 606 H), Tafsir Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an karya Thanthawi Jauhari, dan Tafsir Al-Manar karya Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935 M).[7]

2.     Tafsir Ijmali (Metode Global)
a.      Pengertian Tafsir Ijmali
Secara lughawi, kata al-ijmali berarti ringkasan, iktisar, global, dan penjumlah. [8]Jadi tafsir ijmali (global) ialah penafsiran al-Qur’an dengan singkat dan global, tanpa uraian panjang dengan menggunakan bahasa popular, mudah dimengerti dan mudah dicerna. [9]Mufasir menjelaskan makna umum yang terkandung dalam ayat tanpa menjelaskan perangkat-perangkat pendukungnya secara detail, seperti I’raib atau balaghah.[10]
            Kadang mufasir dengan metode ini menafsirkan al-Qur’an dengan lafadz al-Qur’an, sehingga pembaca  merasa bahwa uraian tafsirannya tidak jauh dari konteks al-Qur’an. Dengan cara demikian ia akan sampai kepada tujuannya dengan cara yang mudah, serta uraian yang singkat dan bagus.[11]
           
Kitab yang disebutkan terakhir oleh Abd Muhyi Ali Mahfuz disebut-ebut sebagai salah satu kitab yang pantas dijuluki “mutiara yang tiada bandingannya” karena isinya terlepas dari kisah-kisah israiliyat, perdebatan mazhab fiqih, dan perbantahan kalam (teolog). Gelar itu pantas dan layak diberikan karena pengarangnya lebih berkonsentrasi pada seluruh ayat dengan menerangkan maknanya dalam bahasa ungkapan yang mudah dipahami.
            Penafsiran Alquran dengan metode ijmali (global) tampak sederhana, praktis, dan cepat, serta pesan-pesan Alquran yang disampaikan pun mudah di tangkap. Inilah kelebihan yang sesungguhnya tepat dikatakan untuk metode tafsir yang tampak sederhana, yakni tafsir ijmali, dibandingkan metode tafsir lainnya. Di sisi lain, kelemahan tafsir ijmali terletak pada sifatnya yang simplisitis sehingga tela’ah dan kajiannya terlalu dangkal, berwawasan sempit, dan parsial (tidak komprehensif).[12]
            Ciri khas tafsir dengan metode ijmali ini adalah ringkas, yang karena ringkasannya, maka ketika membawa tafsir ini  seperti  membawa al-Qur’an saja[13].

b.     Ciri-ciri Tafsir Al-Ijmali
Tafsir al-ijmali memiliki cara kerja tersendiri yang berbeda dengan metode-metode tafsir lainnya. Berikut ini cara kerja tafsir al-ijmali.
1)     Mengikuti urutan ayat sesuai dengan urutan yang ada dalam muhaf.
2)     Lebih menyerupai terjemah maknawi sehingga mufasir tidak berpegang pada makna kosakata.
3)     Mufasir leibih menekankan pada penjelasan makna umum.
4)     Apabila dibutuhkan, mufasir mengemukakan alat bantu, seperti abab an-nuzul.
5)     Penafsirannya tidak begitu jauh dengan siyaq al-Qur’an. Begitu pula dengan bentuk kosakata dan ujaran yang digunakan. 

c.      Contoh karya yang menggunakan tafsir Al-Ijmali
Beberapa kitab tafsir lainnya yang metode penafsirannya menggunakan manhaj al-ijmali, antara lain: at-tafsir al-Farid lil al-Qur’an al-Majid karya Dr. Muhammad ‘Abd al-Mun’im, Marah Labid Tafsir an-Nawawi atau al-Munir li Ma’alim al-Tanzil al’Allamah al-Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani (1230-1314 H/1813-1879 M), at-Tashil li’ ‘Ulum at- Tanzil susunan Muhammad bin Ahmad bin Ahmad bin Juzzay al-Kalbi al-Gharnathi al-Andalusia (741-792 H/1340-1389M), at- Tafsir al- Wadhi susunan Dr. Muhammad Mahmud Hijazi, Tafsir al-Qur’an al-Karim karangan Mahmud Muhammad Hadan ‘Ulwan dan Muhammad Ahmad Barniq, al-Muharir al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-Aziz karya Abi Muhammad Abd al-Haqq Athiyyah al-Gharnathi (481-541H/1088-1146M) danFath al-Bayan fi Maqashid al-Qur’an karya al-Imam al-Mujtahid, Shiddiq Hasan Khan (lahir 1248),[14]Tafsir AL-Jalalin karya dua imam Jalaluddin, tafsir Tanwir Al-Miqbas yang disandarkan kepada Abdullah bin Abbas (w. 68 H) dan dikumpulkan oleh Majduddin Abu Thahir Muhammad bin Ya’qub Al-Fairuzabadi (w. 817 H), Tafsir Kalam Al-Mannan krya Abdurrahaman bin Sa’di, At-Tafsir fi Ahadits At-Tafsir karya Muhammad Al-Makki An-Nashiri, dan Al-Ma’na Al-Ijmali karya Abu Bakr Al-Jazairi.[15]

3.     Tafsir Al-Muqaran (Metode Komparatif)
a.      Pengertian Tafsir  al-Muqaran.
Menurut bahasa, al-Muqaran berasal dari kata qarana-yuqarinu-muqaranatan yang berarti menggandeng, menyatukan, atau membandingkan. Sementara itu menurut istilah, tafsir al-Muqaran ialah tafsir yang membandingkan antara ayat dan ayat atau antara ayat dan hadits, baik dari segi isi maupun redaksi. Definisi lainnya ialah membandingkan antara pendapat ulama tafsir dengan menonjolkan segi perbedaan. Dengan kata lain, mufasir meneliti ayat-ayat al-Qur’an lalu membandingkannya dengan pendapat mufasir lainnya sehingga ditemukan pemahaman baru.[16]
Metode penafsiran perbandingan memiliki objek yang sangat luas dan banyak. Bentuk penafsiran yang dimaksud bisa berupa perbandinganantara ayat-ayat al-Qur’an yang redaksinya berbeda, tetapi maksudnya sama atau ayat-ayat yang menggunakan redaksi mirip, tetapi maksudnya berlainan. Contoh ayat yang memiliki redaksi serupa ialah dua ayat berikut:
            Katakanlah: “Marilah kubcakn apa yang diharamkan atasmu oleh Tuhanmu, yaitu janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang tampak di antaranaya maupun yang tidak tampak (tersembunyi), dan jangannlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan suatu (sebab) yang benar:. Itulah yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahaminya (QS al-An’am, 6: 151)
                                          
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka, dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mmereka adalah dosa besar (QS. Al-Isra’, 17: 31)
            Kedua ayat tersebut menggunakan redaksi yang berbeda tetapi bermaksud sama, yakni melarang (mengharamkan) pembunuhan anak hanya karena takut miskin. Namun, saran dan aksentuasinya jauh berbeda.  Ayat pertama (QS. Al-An’am, 6:151) redaksi khitabnya (arah pembicaraan) ditujukan kepada orang-orang miskin (fuqara), sedangkan ayat kedua (QS. Al-Isra’, 17: 31) khitabnya ditujukan kepada orang-orang kaya (aghniya).[17]
Mufassir dengan metode muqaran dituntut mampu menganalisis pendapat-pendapat para ulama tafsir yang ia kemukakan untuk kemudian mengambil sikap menerima penafsiran yang dinilai benar dan menolak penafsiran yang tidak dapat diterima oleh rasionya. [18]
            Contoh ayat yang memiliki kemiripan redaksi tetapi kasus yang terjadi dan tujuannya berbeda ialah dua ayat berikut:
Dan, datanglah seorang laki-laki dari ujung kota yang bergegas-gegas berkata: “Hai Musa, sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding tentangmu untuk membunuhmu, sebab itu keluarlah (dari kota ini) karena sesungguhnya aku termasuk ornag-orang yang memberi nasehat kepadamu (QS. Al-Qashash, 28: 20)
Dan, datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki (Habib an-Najjar) dengan bergegas-gegas ia berkata: “Hai kaumku, ikutlah utusan-utusan itu” (QS. Yasin, 36: 20)
Perbandingan juga bisa dilakukan antara penafsiran ulama (aliran) tafsir yang satu dan penafsiran ulama (aliran) tafsir lainnya. Misalnya, penafsiran ulama salaf dan khalaf, atau antara penafsiran ulama sunni dan syi’ah, atau antara sunni dan mu’tazilah.[19]

b.     Ciri-ciri Tafsir Al-Muqaran
Ciri utama metode ini adalah membandingkan. Adapun yang dibandingkan adalah ayat dengan ayat lainnya, ayat dengan hadits, atau pendapat mufasir denga pendapat mufasir lainnya. Berikut ini ciri-ciri metode komparatif:
1)     Cakupan pembahasannya sangat luas karena membandingkan tiga hal yaitu ayat, hadits, dan pendapat mufasir lainnya.
2)     Ruang lingkup dari masing-masing aspeknya berbeda-berbeda.
3)     Ada yang menghubungkan pembahasan dengan konotasi kata atau kalimat. Mislanya: “Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir.” (QS. Al-Fath, 48: 29)
Ketika membahas kata al-kuffar, tidak dapat disamakan dengn kata al-kuffar yang terdapat dalam ayat berikut: “Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani.” (QS. Al-Hadid, 57: 20). Kosakata dalam dua ayat tersebut sama, tetapi konotasi maknanya sangat jauh berbeda.
4)     Mengomparatifkan antara ayat-ayat yang beredaksi sama, hadits yang memiliki kemiripan, serta pendapat mufasir mengenai ayat tertentu.[20]

c.      Karya-Karya Tafsir Al-Muqaran
Mufasir yang pertama kali menggunakan metode ini adalah Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam IJami’ Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an. Selain itu, mufasir lainnya yang menggunakan metode serupa, antara lain Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al’Azhim, Asy-Syanqithi dalam Adhwa’ Al-Bayan fi Idhah Al-Qur’an bi Al-Qur’an, Abu ‘Ubaidah Ma’mar Ibn Al-Mutsanna dalam Tafsir Al-Majaz,[21]Abd Al-Qohhar Al-Jurjani dalam I’jaz Al-Qur’an,[22] Al-Khtib Al-Iskafi (w. 420 H/1029 M) dalam Durrat at-Tanzil wa Qurrat at-Ta’wil, Taj Al-Kirmani (w. 505 H/1111 M) dalam Al-Burhan fi Tawjih Mutasyabih AL-Qur’an, dan lain sebagainya.[23]

4.     Tafsir Al-Maudhu’I (Metode Tematik)
a.      Menurut bahasa, al-maudhu’I berasal dari kata al-wadh’u yang dibentuk dari wadh’a-yadhi’u-wadhi’un-maudhu’un yang artinya menjadikan, meletakkan atau meneteapkan sesuatu pada tempatnya. Sementara itu menurut istilah, tafsir al-maudhu’i  ialah tafsir dengan topic yang memiliki hubungan antara ayat satu dan ayat lain mengenai tauhid, kehidupan social, atau ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, tafsir al-maudhu’i ialah metode mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang membahas satu tema tersendiri, menafsirkannya secara global dengan kaidah-kaidah tertentu, dan menemukan rahasia yang tersembunyi di dalam al-Qur’an. [24]
            Metode tafsir maudhu’i menurut Syeikh Syaltut adalah metode tafsir yang paling ideal yang perlu diperkenalkan pada khalayak umum dengan maksud untuk membimbing mereka mengenal berbagai maacam petunjuk yang dikandung al-Qur’an, yang tidak selalu bersifat teoretis tanpa memiliki hubungan riiil dengan apa yang yang dialami oleh individu dan masyarakat, serta segala aspek kehidupan mereka.[25]
            Dalam prakteknya, sejarah tafsir al-maudhu’i sesungguhnya telah lama (bahkan disinyalir sejak masa-masa awal Islam). Tetapi istilah tafsir al-maudhu’i itu sendiri diperkirakan baru lahir pada sekita abad 14 H (19 M). dalam menggunakan tafsir al-maudhu’i ditempuh langkah-langkah berikut:
1)     Mengumpulkan ayat-ayat yang membahas topik yang sama.
2)     Mengkaji asbab an-nuzul dan kosakata secara tuntas dan terperinci.
3)     Mencari dalil-dalil pendukung, baik dari al-Qur’an, hadits maupun ijtihad.[26]
4)     Memilih dan menetapkan topik (objek) kajian yang akan dibahas berdasarkan ayat-ayat Alquran.
5)     Mengumpulkan atau menghimpun ayat-ayat Alquran yang membahas topik atau objek tersebut
6)     Mempelajari penafsiran ayat-ayat yang telah dihimpun itu dengan penafsiran yang memadai dan mengacu pada kitab-kitab tafsir yang ada dengan mengindah ilmu munasabah dan hadis.
7)     Menghimpun hasil penafsiran di atas sedemikian rupa untuk kemudian mengistinbathkan unsur-unsur asasi darinya.
8)     Mufassir mengarahkan pembahasan pada tafsir al-ijmali (global) dalam pemaparan berbagai pemikiran untuk membahas topik atau permasalahan yang ditafsirkan.
9)     Membahas unsur-unsur dan makna-makna ayat untuk mengaitkannya sedemikian rupa berdasarkan metode ilmiah yang benar-benar sistematis. 
10) Memaparkan kesimpulan tentang hakikat jawaban Alquran terhadap topik atau permasalahan yang dibahas.
b.     Ciri-ciri Tafsir al-maudhu’I :
1.     Mufasir tidak memandang urutan ayat dalam mushaf.
2.     Ayat dikumpulkan sesuai tema yang akan di bahas.
3.     Pemilihan tema tertentu menjadi sangat menonjol .
4.     Petunjuk yang termuat dalam ayat dijadikan sumber kajian.
5.     Membahas seluruh permasalahan yang tercakup dalam tema.
c.      Jenis tafsir al-maudhu’I 
Tafsir al-maudhu’I dibedakan menjadi dua yaitu tafsir al-maudhu’I umum mencakup seluruh al quran, yaitu menafsirkan semua ayat yang bertema sama.
1.     Tafsir al maudhu’I  ‘am (umum) yaitu apabila korelasi antara tema dan ayat-ayat al-quran pada tujuan sentral bukan pada asal makna kata. Seperti, Ahkam al-Quran karangan al Jashash dan al Tibyan fi Aqsami al-Quran karangan Ibnu Qayyim.
2.     Tafsir al maudhu’I khash (khusus) jika korelasi antara tema dan ayat al-Quran terjadi secara menyeluruh, baik dari segi asal makna maupun tujuan pembahasan, seperti al-Yahudi fi al-Quran karangan Muhammad Izzat.
Ada juga ulama kontemporer yang membagi tafsir al-maudhu’I menjadi tiga macam antara lain :
1. tafsir maudhu’I wajiz, biasanya hanya kumpulan beberapa ayat tertentu yang dibahas secara tematis secara sederhana,biasa digunakan dalam khutbah dan ceramah keagamaan.
b. tafsir maudhu’I wasit adalah studi tematik suatu surat tertentu , seperti huquq al-mar’ah fi surah al-nisa’
c. tafsir maudhu’i basith adalah bentuk tafsir maudhu’I menggunakan isti’ra dan isti’ab secara menyeluruh terhadap unsur-unsur tema di berbagai ayat dan surat yang terpisah alam al-quran dengan detail, contohnya al-’aql wa al-ilmu  fi al-quran al qarim karya Yusuf Qordlowi.
d.     Bentuk Tafsir Al-Maudh’i
Tafsir al-maudh’i sebenarnya telah muncul sejak masa Nabi. Akan tetapi, penamaannya baru muncull sekitar abad XIV Hijriah. Tafsir al-maudhu’I dibedakan menjadi empat kelompok.
1.     Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an.
Yaitu mufasir mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang membahas tentang suatu tema lalu menafsirkannya dengan ayat lain yang memiliki kemiripan redaksi. Ini merupakan cara yang paling baik serta manfaatnya nyata karena tidak banyak dipengaruhi oleh mufasir dan menunjukkan keutuhan Al-Qur’an.
2.     Tafsir ayat-ayat hokum.
Yaitu mufasir mengumpulkanayat-ayat yang berhubungan dengan hukum-hukum fiqh lalu membahasnya secara mendalam tanpa membahas ayat-ayat lain secara mendetail. Contohnya tafsir model ini adalah TafsirAl-Qurthubi.
3.     Tafsir ayat-ayat memiliki keserupaan.
Yaitu mufasir mengumpulkan kosakata yang terdapat dalam berbagai ayat yang membicarakan suatu tema tertentu. Selanjutnya ayat-ayat tersebut diteliti dan dibandingkan dengan ayat lain yang memiliki kosakata yang sama untuk ditemukan makna kosakata yang sesuai dengan maksud ayat. Contoh tafsir model ini adalah tafsir al-asybah wa an-nazha’ir karya Muqatil bin Sulaiman.
4.     Studi interpretative
Yaitu mufasir mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki tema sama lalu menelitinya. Contoh tafsir model ini adalah An-Nasikh wa Al-Mansukh karya Abu Ubaidah Al-Qasim bin Salam, Al-Mawardi, dan At-Tibyan fi Aqsam Al-Qur’an karya Ibnu Al-Qayyim.
e.      Karya-karya yang menggunakan Tafsir Maudhu’i
Berikut ini beberapa contoh karya tafsir al-Maudhu’i
1)     Tafsir al-Qur’an dengan Al-Qur’an, seperti Al-An’am (6: 59) ditafsirkan dengan Surah Luqman (31: 34) hal ini terdapat dalam Shahih al-Bukhari 6/56 nomor 4627 dan Al-An’am (6: 82) ditafsirkan dengan Surah Luqman (31: 13) hal ini terdapat dalam Shahih al-Bukhari 1/15 nomor 32 dan Shahih al-Bukhari 4/141 nomor 3360.
2)     Tafsir ayat-ayat hokum, seperti Tafsir Al-Qurthubi karya Al-Qurthubi, Ahkam Al-Qur’an karya Al-Jashshash, Ahkam Al-Qur’an karya  Ibnu Al-Arabi, dan Nail Al-Maram min Tafsir Ayat Al-Ahkam karya Muhammad Shiddiq Hasan.
3)     Tafsir al-asybah wa an-Nazha’ir (ayat-ayat yang memiliki keserupaan), seperti Al-Asybah wa An-Nazha’ir karya Muqatil bin Sulaiman, At-Tasharif karya Yahya bin Salam, dan Basha’ir Dzawi At-Tamyiz fi Al-Kitab Al-‘Aziz karya Al-Fairuzabadi.
4)     Ad-dirasah at-tafsiriyyah (studi interpretatif), seperti An-Nasikh wa Al-Mansukh karya Abu Ubaidah Al-Qasim bin Salam, Ta’wil Musykil Al-Qur’an karya Ibnu Qutibah, Amtsal Al-Qur’an karya Al-Mawardi, At-Tibyan fi Aqsam Al-Qur’an karya Ibnu Qayyim, dan Majaz Al-Qur’an karya Al-Izzu bin Abdissalam.


[1] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Humaniora, 2014), hal. 103
[2] Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Amzah, 2014), hal. 120
[3] Mawardi Abdullah, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal. 167
[4] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Humaniora, 2014), hal. 103-104
[5] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Humaniora, 2014), hal. 104-105
[6] Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Amzah, 2014), hal. 121
[7] Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Amzah, 2014), hal. 121
[8] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Humaniora, 2014), hal. 105
[9] Mawardi Abdullah, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal.168
[10] Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Amzah, 2014), hal. 119
[11] Mawardi Abdullah, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal.169
[12] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Humaniora, 2014), hal. 105-106
[13] Mawardi Abdullah, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal.169
[14] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Humaniora, 2014), hal. 105-106
[15] Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir (Jakarta: Amzah, 2014), hal. 120
[16] Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir (Jakarta: Amzah, 2014), hal. 122
[17] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Humaniora, 2014), hal. 106-107
[18] Mawardi Abdullah, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal.170
[19] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Humaniora, 2014), hal. 10-111
[20] Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir (Jakarta: Amzah, 2014), hal. 122-123
[21] Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir (Jakarta: Amzah, 2014), hal. 123
[22] Mawardi Abdullah, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal.171
[23] Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir (Jakarta: Amzah, 2014), hal. 114
[24] Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir (Jakarta: Amzah, 2014), hal. 123-124              
[25] Mawardi Abdullah, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal.171-172
[26] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Humaniora, 2014), hal. 114

Komentar

Pustaka Ilmu

Makalah Periode Kemunduran Islam

Makalah - Periode Kemunduran Islam (STAGNASI)

Makalah Tingkah laku tercela

Hadits tentang Persaudaraan Muslim

Pengertian Mudharabah, Macam-macam Mudharabah, landasan hukum dalam Mudharabah, Rukun, perkara dan hal yang membuat Mudharabahh SAH.

Makalah Filsafat Islam - Ikhwan As-Shafa'

Makalah Masailul al Fiqhiyah tentang Mengubah ciptaan Allah dalam Perspektif Islam

Tarikh Tasyri' - Kondisi Bangsa Arab sebelum ISLAM.

Contoh Meresensi Ushul Fiqih, Resensi buku Ushul Fiqih

Makalah Administrasi Pendidikan - SISTEM PENGARSIPAN