Jenis-jenis METODE TAFSIR
Jenis-Jenis Metode Tafsir
Terkait dengan metode penafsiran Alquran, ada
beberapa jenis metode yang biasa digunakan ulama tafsir. Penafsiran yang lazim
digunakan itu ada yang bersifat meluas-melebar dan global, ada juga yang
menafsirkannya melalui studi perbandingan (komparasi). Bahkan, ada pula
menggunakan metode penafsiran Alquran sistematis. Sebagian ahli ilmu tafsir,
Abd al-Hayy al-Famawi menyebutkan empat jenis metode (manhaj atau minhaj)
penafsiran Alquran: al-manhaj at-tahlili,
al-manhaj al-ijmali, al-manhaj al-muqaran, danal-manhaj al-maudhu’i.[1]
1.
Tafsir
at-Tahlili (Metode Analitis)
a.
Pengertian Tafsir
at-Tahlili
Menurut
bahasa, at-tahlili berasal dari kata hallala-yuhallilu-tahlilan yang artinya
melepas, mengurai, keluar, atau menganalisis. Sementara itu menurut istilah,
tafsir at-tahlili ialah menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang bersinggungan dengan
ayat serta menerangkan makna yang tercangkup sesuai dengan keahlian mufasir. [2]Yang
dimaksud dengan metode analitis adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dari
segala segi dan maknanya, ayat demi ayat, surah demi surah, sesuai dengan
urutan dalam mushaf.
Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung
kosakata ayat berdasarkan arti yang dikehendaki, konotasi kalimatnya, latar
belakang turunnya ayat, kaitannya dengan ayat-ayat lain, baik sebelum maupun
sesudahnya dan tak ketinggalan pendapat yang berkenaan dengan tafsiran ayat
tersebut baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, para tabi’in maupun ahli
tafsir lainnya.[3]
Metode
at-tahlili biasa disebut metode tajzi’i
ini termasuk metode tafsir tertua seusianya. Metode at-tahlili, menurut
Quraish Shihab, lahir jauh sebelum metode tafsir maudhu’i. Metode ini sudah dikenal sejak ahli tafsir al-Farra (w. 206 H/821M)
menerbitkan kitab tafsirnya itu atau sejak Ibn Majah (w. 237 H/922 M), atau
selambat-lambatnya sejak masa ath-Thabari (w. 310 H/922 M).[4]
Tafsir at-tahlili memiliki kelebihan yang sangat khas
dibandingkan tafsir yang menggunakan metode lainnya. Kelebihan tafsir
at-tahlili antara lain: keluasan dan keutuhannya dalam memahami al-Qur’an.
Melalui metode tahlili, seseorang diajak-serta untuk memahami al-Qur’an dari
awal (surah al-Fatihah) hingga akhir (Surah an-Nas), atau ia diajak-serta untuk
memahami ayat dan surah dalam al-Qur’an secara utuh dan menyeluruh.
Sebagai sebuah metode yang bersifat nisbi karena hasil-karya
manusia, metode tafsir at-tahlili tidak
bisa terlepas dari kelemahan, antara lain: kajian metode tafsir at-tahlili kurang mendalam, tidak detil, dan tidak tuntas
dalam pembahasan dan enyelesaian topik-topik yang dibicarakan. [5]
b.
Ciri-Ciri Tafsir
At-Tahlili (Metode Analitis)
Berikut ini ciri-ciri
yang melekat pada metode analitis.
1)
Ayat-ayat
ditafsirkan sesuai dengan urutan yang terdapat dalam mushaf.
2)
Penjelasannya
sedikit demi sedikit karena segala segi diteliti, seperti kasa-kata, munasabah
(hubungan), tata bahasa, atau asbaba
an-nuzul.
3)
Menggunakan alat
bantu yang efektif berupa disiplin ilmu yang menjadi keahlian mufasir.
4)
Menekankan
pengertian filologi sebagai acuan awal.
5)
Ayat atau hadis
lain yang memiliki kosakata yang sama digunakan sebagai batu loncatan.
6)
Mengamati
konteks nash untuk menemukan pemahaman ayat.[6]
7)
Titik beratnya
adalah lafazhnya
c.
Karya-Karya Yang
Menggunakan Tafsir At-Tahlili
1)
Berbentuk tafsir
bi Al-Ma’tsur
Tafsir at-tahlili yang berbentuk tafsir bi al-ma’tsur lazim digunakan ulama
klasik. Mereka mengutip tafsir sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in. salah satu
tafsir termasyhur yang menggunakan metode ini, yaitu Tafsir Ath-Thabari karya Ibn Jarir Ath-Thabari (w. 310 H).
tafsir-tafsir lainnya yang menggunakan metode serupa antara lain Ma’alim At-Tanzil Karya Al-Baghawi (w.
516 H), Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya
Ibnu Katsir (w. 774 H), dan Ad-Durr
Al-Mantsur Fi At-Tafsir Bi Al-‘Matsur karya As-Suyuthi (w. 911 H).
2)
Berbentuk Tafsir
bi Ar-Ra’yi
Tafsir yang menggunakan
metode at-tahlili dengan menekankan
pada tafsir bi ar-ra’yi sebenarnya
banyak, antara lain Tafsir Al-Khazin karya
Al-khazin (w. 741 H), Anwar At-Tnzil wa
Asrar At-Ta’wil karya Al-Baidhawi (w. 691 H), Al-Kasysyaf karya Az-Zamakhsyari (w. 538 H), ‘Arais Al-Bayan fi Haqa’iq Al-Qur’an karya Asy-Syairazi (w. 606 H), Tafsir Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an karya
Thanthawi Jauhari, dan Tafsir Al-Manar karya
Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935 M).[7]
2.
Tafsir Ijmali
(Metode Global)
a.
Pengertian Tafsir
Ijmali
Secara lughawi, kata al-ijmali berarti ringkasan, iktisar, global, dan penjumlah. [8]Jadi
tafsir ijmali (global) ialah
penafsiran al-Qur’an dengan singkat dan global, tanpa uraian panjang dengan
menggunakan bahasa popular, mudah dimengerti dan mudah dicerna. [9]Mufasir
menjelaskan makna umum yang terkandung dalam ayat tanpa menjelaskan
perangkat-perangkat pendukungnya secara detail, seperti I’raib atau balaghah.[10]
Kadang mufasir dengan
metode ini menafsirkan al-Qur’an dengan lafadz al-Qur’an, sehingga pembaca merasa bahwa uraian tafsirannya tidak jauh
dari konteks al-Qur’an. Dengan cara demikian ia akan sampai kepada tujuannya
dengan cara yang mudah, serta uraian yang singkat dan bagus.[11]
Kitab
yang disebutkan terakhir oleh Abd Muhyi Ali Mahfuz disebut-ebut sebagai salah
satu kitab yang pantas dijuluki “mutiara yang tiada bandingannya” karena isinya
terlepas dari kisah-kisah israiliyat, perdebatan mazhab fiqih, dan perbantahan
kalam (teolog). Gelar itu pantas dan layak diberikan karena pengarangnya lebih
berkonsentrasi pada seluruh ayat dengan menerangkan maknanya dalam bahasa
ungkapan yang mudah dipahami.
Penafsiran Alquran
dengan metode ijmali (global) tampak sederhana, praktis, dan cepat, serta
pesan-pesan Alquran yang disampaikan pun mudah di tangkap. Inilah kelebihan
yang sesungguhnya tepat dikatakan untuk metode tafsir yang tampak sederhana,
yakni tafsir ijmali, dibandingkan
metode tafsir lainnya. Di sisi lain, kelemahan tafsir ijmali terletak pada sifatnya yang simplisitis sehingga
tela’ah dan kajiannya terlalu dangkal, berwawasan sempit, dan parsial (tidak
komprehensif).[12]
Ciri khas tafsir dengan metode ijmali ini adalah ringkas, yang karena ringkasannya, maka ketika
membawa tafsir ini seperti membawa al-Qur’an saja[13].
b.
Ciri-ciri Tafsir
Al-Ijmali
Tafsir al-ijmali memiliki cara kerja tersendiri
yang berbeda dengan metode-metode tafsir lainnya. Berikut ini cara kerja tafsir
al-ijmali.
1)
Mengikuti urutan
ayat sesuai dengan urutan yang ada dalam muhaf.
2)
Lebih menyerupai
terjemah maknawi sehingga mufasir tidak berpegang pada makna kosakata.
3)
Mufasir leibih
menekankan pada penjelasan makna umum.
4)
Apabila
dibutuhkan, mufasir mengemukakan alat bantu, seperti abab an-nuzul.
5)
Penafsirannya
tidak begitu jauh dengan siyaq al-Qur’an.
Begitu pula dengan bentuk kosakata dan ujaran yang digunakan.
c.
Contoh karya
yang menggunakan tafsir Al-Ijmali
Beberapa kitab tafsir
lainnya yang metode penafsirannya menggunakan manhaj al-ijmali, antara lain:
at-tafsir al-Farid lil al-Qur’an al-Majid karya Dr. Muhammad ‘Abd al-Mun’im,
Marah Labid Tafsir an-Nawawi atau al-Munir li Ma’alim al-Tanzil al’Allamah al-Syekh
Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani (1230-1314 H/1813-1879 M), at-Tashil li’
‘Ulum at- Tanzil susunan Muhammad bin Ahmad bin Ahmad bin Juzzay al-Kalbi
al-Gharnathi al-Andalusia (741-792 H/1340-1389M), at- Tafsir al- Wadhi susunan
Dr. Muhammad Mahmud Hijazi, Tafsir al-Qur’an al-Karim karangan Mahmud Muhammad
Hadan ‘Ulwan dan Muhammad Ahmad Barniq, al-Muharir al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab
al-Aziz karya Abi Muhammad Abd al-Haqq Athiyyah al-Gharnathi
(481-541H/1088-1146M) danFath al-Bayan fi Maqashid al-Qur’an karya al-Imam
al-Mujtahid, Shiddiq Hasan Khan (lahir 1248),[14]Tafsir AL-Jalalin karya dua imam
Jalaluddin, tafsir Tanwir Al-Miqbas yang
disandarkan kepada Abdullah bin Abbas (w. 68 H) dan dikumpulkan oleh Majduddin
Abu Thahir Muhammad bin Ya’qub Al-Fairuzabadi (w. 817 H), Tafsir Kalam Al-Mannan krya Abdurrahaman bin Sa’di, At-Tafsir fi Ahadits At-Tafsir karya
Muhammad Al-Makki An-Nashiri, dan Al-Ma’na
Al-Ijmali karya Abu Bakr Al-Jazairi.[15]
3.
Tafsir
Al-Muqaran (Metode Komparatif)
a.
Pengertian
Tafsir al-Muqaran.
Menurut
bahasa, al-Muqaran berasal dari kata qarana-yuqarinu-muqaranatan yang berarti
menggandeng, menyatukan, atau membandingkan. Sementara itu menurut istilah, tafsir al-Muqaran ialah tafsir yang
membandingkan antara ayat dan ayat atau antara ayat dan hadits, baik dari segi
isi maupun redaksi. Definisi lainnya ialah membandingkan antara pendapat ulama
tafsir dengan menonjolkan segi perbedaan. Dengan kata lain, mufasir meneliti
ayat-ayat al-Qur’an lalu membandingkannya dengan pendapat mufasir lainnya sehingga
ditemukan pemahaman baru.[16]
Metode penafsiran perbandingan memiliki objek yang sangat luas dan
banyak. Bentuk penafsiran yang dimaksud bisa berupa perbandinganantara
ayat-ayat al-Qur’an yang redaksinya berbeda, tetapi maksudnya sama atau
ayat-ayat yang menggunakan redaksi mirip, tetapi maksudnya berlainan. Contoh
ayat yang memiliki redaksi serupa ialah dua ayat berikut:
Katakanlah: “Marilah kubcakn apa yang
diharamkan atasmu oleh Tuhanmu, yaitu janganlah kamu mempersekutukan sesuatu
dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua ibu bapak, dan janganlah kamu
membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu
dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji,
baik yang tampak di antaranaya maupun yang tidak tampak (tersembunyi), dan
jangannlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan
dengan suatu (sebab) yang benar:. Itulah yang diperintahkan oleh Tuhanmu
kepadamu supaya kamu memahaminya (QS al-An’am, 6: 151)
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut
kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka, dan juga kepadamu.
Sesungguhnya membunuh mmereka adalah dosa besar (QS. Al-Isra’, 17: 31)
Kedua ayat tersebut
menggunakan redaksi yang berbeda tetapi bermaksud sama, yakni melarang
(mengharamkan) pembunuhan anak hanya karena takut miskin. Namun, saran dan
aksentuasinya jauh berbeda. Ayat pertama
(QS. Al-An’am, 6:151) redaksi khitabnya (arah
pembicaraan) ditujukan kepada orang-orang miskin (fuqara), sedangkan ayat kedua (QS. Al-Isra’, 17: 31) khitabnya ditujukan kepada orang-orang
kaya (aghniya).[17]
Mufassir dengan metode muqaran
dituntut mampu menganalisis pendapat-pendapat para ulama tafsir yang ia
kemukakan untuk kemudian mengambil sikap menerima penafsiran yang dinilai benar
dan menolak penafsiran yang tidak dapat diterima oleh rasionya. [18]
Contoh
ayat yang memiliki kemiripan redaksi tetapi kasus yang terjadi dan tujuannya
berbeda ialah dua ayat berikut:
Dan, datanglah seorang laki-laki dari ujung kota
yang bergegas-gegas berkata: “Hai Musa, sesungguhnya pembesar negeri sedang
berunding tentangmu untuk membunuhmu, sebab itu keluarlah (dari kota ini)
karena sesungguhnya aku termasuk ornag-orang yang memberi nasehat kepadamu (QS. Al-Qashash, 28: 20)
Dan, datanglah
dari ujung kota, seorang laki-laki (Habib an-Najjar) dengan bergegas-gegas ia
berkata: “Hai kaumku, ikutlah utusan-utusan itu” (QS. Yasin, 36: 20)
Perbandingan juga bisa dilakukan antara penafsiran ulama (aliran)
tafsir yang satu dan penafsiran ulama (aliran) tafsir lainnya. Misalnya,
penafsiran ulama salaf dan khalaf, atau antara penafsiran ulama sunni dan
syi’ah, atau antara sunni dan mu’tazilah.[19]
b.
Ciri-ciri Tafsir
Al-Muqaran
Ciri
utama metode ini adalah membandingkan. Adapun yang dibandingkan adalah ayat
dengan ayat lainnya, ayat dengan hadits, atau pendapat mufasir denga pendapat
mufasir lainnya. Berikut ini ciri-ciri metode komparatif:
1)
Cakupan
pembahasannya sangat luas karena membandingkan tiga hal yaitu ayat, hadits, dan
pendapat mufasir lainnya.
2)
Ruang lingkup
dari masing-masing aspeknya berbeda-berbeda.
3)
Ada yang
menghubungkan pembahasan dengan konotasi kata atau kalimat. Mislanya: “Muhammad adalah utusan Allah dan
orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir.”
(QS. Al-Fath, 48: 29)
Ketika
membahas kata al-kuffar, tidak dapat
disamakan dengn kata al-kuffar yang
terdapat dalam ayat berikut: “Seperti
hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani.” (QS. Al-Hadid, 57:
20). Kosakata dalam dua ayat tersebut sama, tetapi konotasi maknanya sangat
jauh berbeda.
4)
Mengomparatifkan
antara ayat-ayat yang beredaksi sama, hadits yang memiliki kemiripan, serta
pendapat mufasir mengenai ayat tertentu.[20]
c.
Karya-Karya
Tafsir Al-Muqaran
Mufasir
yang pertama kali menggunakan metode ini adalah Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam IJami’ Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an. Selain
itu, mufasir lainnya yang menggunakan metode serupa, antara lain Ibnu Katsir
dalam Tafsir Al-Qur’an Al’Azhim, Asy-Syanqithi
dalam Adhwa’ Al-Bayan fi Idhah Al-Qur’an
bi Al-Qur’an, Abu ‘Ubaidah Ma’mar Ibn Al-Mutsanna dalam Tafsir Al-Majaz,’ [21]Abd
Al-Qohhar Al-Jurjani dalam I’jaz
Al-Qur’an,[22]
Al-Khtib Al-Iskafi (w. 420 H/1029 M) dalam Durrat at-Tanzil wa Qurrat at-Ta’wil, Taj Al-Kirmani (w. 505 H/1111
M) dalam Al-Burhan fi Tawjih Mutasyabih
AL-Qur’an, dan lain sebagainya.[23]
4.
Tafsir
Al-Maudhu’I (Metode Tematik)
a.
Menurut bahasa, al-maudhu’I berasal dari kata al-wadh’u yang dibentuk dari wadh’a-yadhi’u-wadhi’un-maudhu’un yang
artinya menjadikan, meletakkan atau meneteapkan sesuatu pada tempatnya.
Sementara itu menurut istilah, tafsir
al-maudhu’i ialah tafsir dengan
topic yang memiliki hubungan antara ayat satu dan ayat lain mengenai tauhid,
kehidupan social, atau ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, tafsir al-maudhu’i ialah metode mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an
yang membahas satu tema tersendiri, menafsirkannya secara global dengan
kaidah-kaidah tertentu, dan menemukan rahasia yang tersembunyi di dalam
al-Qur’an. [24]
Metode tafsir maudhu’i menurut Syeikh Syaltut
adalah metode tafsir yang paling ideal yang perlu diperkenalkan pada khalayak
umum dengan maksud untuk membimbing mereka mengenal berbagai maacam petunjuk
yang dikandung al-Qur’an, yang tidak selalu bersifat teoretis tanpa memiliki
hubungan riiil dengan apa yang yang dialami oleh individu dan masyarakat, serta
segala aspek kehidupan mereka.[25]
Dalam prakteknya,
sejarah tafsir al-maudhu’i sesungguhnya
telah lama (bahkan disinyalir sejak masa-masa awal Islam). Tetapi istilah tafsir al-maudhu’i itu sendiri
diperkirakan baru lahir pada sekita abad 14 H (19 M). dalam menggunakan tafsir al-maudhu’i ditempuh langkah-langkah
berikut:
1)
Mengumpulkan
ayat-ayat yang membahas topik yang sama.
2)
Mengkaji asbab an-nuzul dan kosakata secara
tuntas dan terperinci.
3)
Mencari
dalil-dalil pendukung, baik dari al-Qur’an, hadits maupun ijtihad.[26]
4)
Memilih dan
menetapkan topik (objek) kajian yang akan dibahas berdasarkan ayat-ayat Alquran.
5)
Mengumpulkan
atau menghimpun ayat-ayat Alquran yang membahas topik atau objek tersebut
6)
Mempelajari
penafsiran ayat-ayat yang telah dihimpun itu dengan penafsiran yang memadai dan
mengacu pada kitab-kitab tafsir yang ada dengan mengindah ilmu munasabah dan
hadis.
7)
Menghimpun hasil
penafsiran di atas sedemikian rupa untuk kemudian mengistinbathkan unsur-unsur
asasi darinya.
8)
Mufassir
mengarahkan pembahasan pada tafsir al-ijmali
(global) dalam pemaparan berbagai pemikiran untuk membahas topik atau
permasalahan yang ditafsirkan.
9)
Membahas
unsur-unsur dan makna-makna ayat untuk mengaitkannya sedemikian rupa
berdasarkan metode ilmiah yang benar-benar sistematis.
10) Memaparkan kesimpulan tentang hakikat jawaban
Alquran terhadap topik atau permasalahan yang dibahas.
b.
Ciri-ciri Tafsir
al-maudhu’I :
1.
Mufasir tidak
memandang urutan ayat dalam mushaf.
2.
Ayat dikumpulkan
sesuai tema yang akan di bahas.
3.
Pemilihan tema
tertentu menjadi sangat menonjol .
4.
Petunjuk yang
termuat dalam ayat dijadikan sumber kajian.
5.
Membahas seluruh
permasalahan yang tercakup dalam tema.
c.
Jenis tafsir al-maudhu’I
Tafsir
al-maudhu’I dibedakan menjadi dua
yaitu tafsir al-maudhu’I umum mencakup seluruh al quran, yaitu menafsirkan
semua ayat yang bertema sama.
1.
Tafsir al maudhu’I
‘am (umum) yaitu apabila korelasi antara tema dan ayat-ayat al-quran
pada tujuan sentral bukan pada asal makna kata. Seperti, Ahkam al-Quran karangan al Jashash dan al Tibyan fi Aqsami al-Quran karangan Ibnu Qayyim.
2.
Tafsir al maudhu’I khash (khusus) jika korelasi
antara tema dan ayat al-Quran terjadi secara menyeluruh, baik dari segi asal
makna maupun tujuan pembahasan, seperti al-Yahudi
fi al-Quran karangan Muhammad Izzat.
Ada juga ulama
kontemporer yang membagi tafsir al-maudhu’I menjadi tiga macam antara lain :
1. tafsir maudhu’I wajiz, biasanya hanya kumpulan beberapa ayat
tertentu yang dibahas secara tematis secara sederhana,biasa digunakan dalam
khutbah dan ceramah keagamaan.
b. tafsir maudhu’I wasit adalah studi tematik suatu
surat tertentu , seperti huquq al-mar’ah
fi surah al-nisa’
c. tafsir maudhu’i basith adalah bentuk tafsir maudhu’I menggunakan isti’ra dan isti’ab
secara menyeluruh terhadap unsur-unsur tema di berbagai ayat dan surat yang
terpisah alam al-quran dengan detail, contohnya al-’aql wa al-ilmu fi al-quran
al qarim karya Yusuf Qordlowi.
d.
Bentuk Tafsir
Al-Maudh’i
Tafsir al-maudh’i sebenarnya
telah muncul sejak masa Nabi. Akan tetapi, penamaannya baru muncull sekitar
abad XIV Hijriah. Tafsir al-maudhu’I dibedakan menjadi empat kelompok.
1.
Tafsir al-Qur’an
dengan al-Qur’an.
Yaitu mufasir
mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang membahas tentang suatu tema lalu
menafsirkannya dengan ayat lain yang memiliki kemiripan redaksi. Ini merupakan
cara yang paling baik serta manfaatnya nyata karena tidak banyak dipengaruhi
oleh mufasir dan menunjukkan keutuhan Al-Qur’an.
2.
Tafsir ayat-ayat
hokum.
Yaitu mufasir
mengumpulkanayat-ayat yang berhubungan dengan hukum-hukum fiqh lalu membahasnya
secara mendalam tanpa membahas ayat-ayat lain secara mendetail. Contohnya tafsir
model ini adalah TafsirAl-Qurthubi.
3.
Tafsir ayat-ayat
memiliki keserupaan.
Yaitu mufasir
mengumpulkan kosakata yang terdapat dalam berbagai ayat yang membicarakan suatu
tema tertentu. Selanjutnya ayat-ayat tersebut diteliti dan dibandingkan dengan
ayat lain yang memiliki kosakata yang sama untuk ditemukan makna kosakata yang
sesuai dengan maksud ayat. Contoh tafsir model ini adalah tafsir al-asybah wa an-nazha’ir karya Muqatil bin Sulaiman.
4.
Studi
interpretative
Yaitu mufasir
mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki tema sama lalu menelitinya.
Contoh tafsir model ini adalah An-Nasikh
wa Al-Mansukh karya Abu Ubaidah Al-Qasim bin Salam, Al-Mawardi, dan At-Tibyan fi Aqsam Al-Qur’an karya Ibnu
Al-Qayyim.
e.
Karya-karya yang
menggunakan Tafsir Maudhu’i
Berikut ini beberapa
contoh karya tafsir al-Maudhu’i
1)
Tafsir al-Qur’an
dengan Al-Qur’an, seperti Al-An’am (6: 59) ditafsirkan dengan Surah Luqman (31:
34) hal ini terdapat dalam Shahih
al-Bukhari 6/56 nomor 4627 dan Al-An’am (6: 82) ditafsirkan dengan Surah
Luqman (31: 13) hal ini terdapat dalam Shahih
al-Bukhari 1/15 nomor 32 dan Shahih
al-Bukhari 4/141 nomor 3360.
2)
Tafsir ayat-ayat
hokum, seperti Tafsir Al-Qurthubi karya
Al-Qurthubi, Ahkam Al-Qur’an karya
Al-Jashshash, Ahkam Al-Qur’an karya Ibnu Al-Arabi, dan Nail Al-Maram min Tafsir Ayat Al-Ahkam karya Muhammad Shiddiq
Hasan.
3)
Tafsir al-asybah wa an-Nazha’ir (ayat-ayat yang
memiliki keserupaan), seperti Al-Asybah
wa An-Nazha’ir karya Muqatil bin Sulaiman, At-Tasharif karya Yahya bin Salam, dan Basha’ir Dzawi At-Tamyiz fi Al-Kitab Al-‘Aziz karya Al-Fairuzabadi.
4)
Ad-dirasah at-tafsiriyyah (studi interpretatif), seperti An-Nasikh wa Al-Mansukh karya Abu Ubaidah Al-Qasim bin Salam, Ta’wil Musykil Al-Qur’an karya Ibnu
Qutibah, Amtsal Al-Qur’an karya
Al-Mawardi, At-Tibyan fi Aqsam Al-Qur’an karya
Ibnu Qayyim, dan Majaz Al-Qur’an karya
Al-Izzu bin Abdissalam.
[1] Ahmad
Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung:
Humaniora, 2014), hal. 103
[2] Samsurrohman,
Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta:
Amzah, 2014), hal. 120
[3] Mawardi
Abdullah, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011), hal. 167
[4] Ahmad
Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir,
(Bandung: Humaniora, 2014), hal. 103-104
[5] Ahmad
Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung:
Humaniora, 2014), hal. 104-105
[6] Samsurrohman,
Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta:
Amzah, 2014), hal. 121
[7] Samsurrohman,
Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta:
Amzah, 2014), hal. 121
[8] Ahmad
Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung:
Humaniora, 2014), hal. 105
[9] Mawardi
Abdullah, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011), hal.168
[10] Samsurrohman,
Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta:
Amzah, 2014), hal. 119
[11] Mawardi
Abdullah, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011), hal.169
[12] Ahmad
Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir,
(Bandung: Humaniora, 2014), hal. 105-106
[13] Mawardi
Abdullah, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011), hal.169
[14] Ahmad
Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir,
(Bandung: Humaniora, 2014), hal. 105-106
[15] Samsurrohman,
Pengantar Ilmu Tafsir (Jakarta:
Amzah, 2014), hal. 120
[16] Samsurrohman,
Pengantar Ilmu Tafsir (Jakarta: Amzah, 2014), hal. 122
[17] Ahmad
Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Humaniora, 2014), hal. 106-107
[18] Mawardi
Abdullah, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal.170
[19] Ahmad
Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Humaniora, 2014), hal. 10-111
[20] Samsurrohman,
Pengantar Ilmu Tafsir (Jakarta: Amzah, 2014), hal. 122-123
[21] Samsurrohman,
Pengantar Ilmu Tafsir (Jakarta: Amzah, 2014), hal. 123
[22] Mawardi
Abdullah, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal.171
[23] Samsurrohman,
Pengantar Ilmu Tafsir (Jakarta: Amzah, 2014), hal. 114
[24]
Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir (Jakarta: Amzah, 2014), hal. 123-124
[25] Mawardi
Abdullah, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal.171-172
[26] Ahmad
Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Humaniora, 2014), hal. 114
Komentar
Posting Komentar